
Sumber: Dokumentasi pribadi penulis
Waktu itu, saya tidak menyangka akan duduk satu mobil bersama Abah dan Kang Yuskhi, yang kala itu masih menjabat sebagai Lurah Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien, menuju Salatiga.
Perjalanan Yogyakarta–Salatiga cukup jauh. Waktunya sekitar dua jam, kiranya cukup lama untuk menamatkan satu film. Formasi dalam mobil adalah Kang Yuskhi jadi sopir, Abah duduk di tengah, sedangkan saya yang tidak bisa nyetir ini ambil posisi di samping sopir, jadi “kernet”.
Sejujurnya, keikutsertaan saya ini tanpa rencana sebelumnya. Kang Yuskhi tiba-tiba saja mengajak, “Ayo Dik, melu nggone Kang Fadhil, ro Abah (Ayo Dik, ikut ke tempat Kang Fadhil, sama Abah).” Sebagai santri yang baik dan kebetulan sedang tidak sibuk, tidak enak rasanya kalau menolak ajakan dari Lurah. Mungkin beliau sungkan kalau hanya berdua dengan Abah di dalam mobil, sehingga saya pun diajak agar setidaknya Kang Yuskhi ada teman mengobrol.
Singkat cerita, kami menuju Salatiga sekitar pukul 10.00 WIB. Waktu itu hari Jumat dan menurut estimasi, kami akan sampai di tempat Kang Fadhil setelah shalat Jumat. Selama di perjalanan, suasana tidak berisi diam yang canggung, tetapi justru dipenuhi nasihat-nasihat dari Abah. Banyak juga hal yang menurut saya agak lucu. Misalnya, beberapa kali Kang Yuskhi diingatkan bahwa mengendarai mobil matic itu cukup pakai satu kaki. Saya yang tidak begitu paham soal per-mobilan sebenarnya sudah mengerti konsep yang dimaksud. Hanya saja, kalau praktik mungkin akan gugup juga—apalagi saat bersama Abah.
Momen selama di perjalanan menjadi pengalaman pertama yang akan terkenang oleh saya pribadi. Bagaimana tidak? Saya yang notabenenya santri biasa, bisa satu mobil bersama Abah. Ini patut dibanggakan. Terlebih, dawuh-dawuh beliau selama perjalanan sangat realistis. Nalar saya selalu berkata, “I-iya juga ya…, wah iya ya…, oh ternyata gitu ya….”
Ada dua hal yang membuat saya teringat sampai sekarang.
Pertama, Rukhsah Jamak-Qashar
Dalam perjalanan menuju Salatiga, kami sempat berhenti sejenak untuk shalat Jumat di sebuah masjid. Saat itu, perjalanan sudah menempuh waktu kurang lebih satu jam. Tiba-tiba, Abah dawuh, “Sekalian dijamak shalatnya.” Kaget saya, kayaknya baru sebentar, tapi kok sudah diberi dawuh untuk jamak. Biasalah, pemikiran santri yang jarang ngaji kan gitu, belum tahu hukum. Terus saya mikir, “Oh, mungkin karena akan menuju Salatiga, menjamak tidak harus menunggu minimal jarak 80 km ditempuh dulu. Yang penting, kita memang akan menuju jarak segitu.” Saya shalat di dekat Kang Yuskhi di masjid lantai dua, sementara Abah sepertinya di lantai satu. Berhubung waktu itu kami sampai di masjid ketika khotbah hampir selesai, memang agak susah untuk berbarengan (situasinya mendukung, karena aslinya kami sungkan shalat di dekat Abah).
Kedua, Nasihat tentang Ilmu dan Kemuliaan
Begitu keluar dari Tol Bawen–Salatiga, tidak jauh dari gerbang tol, ada lampu merah. Ketika itu, ada pengamen mendekati mobil kami. Abah dawuh ke Kang Yuskhi, kurang lebih seperti ini: “Kui ono duit ning dashboard, dijupuk, kekno! (Itu ada uang di dashboard, ambil, kasihkan!” Setelah uang diberikan, pengamen pun menjauh. Saat itu, cuaca benar-benar panas. Tiba-tiba Abah menasihati, “Uwong nek ndue ngilmu, uripe bakal terjamin, dimuliakan, nggak kudu panas-panasan.” Dari kejadian itu, Abah mengingatkan kepada santrinya, saya dan Kang Yuskhi, bahwa firman Allah dalam Q.S. Al Mujadalah ayat 11 itu nyata. Orang-orang berilmu memang benar akan diangkat derajatnya. Contoh nyatanya ada di dekat saya, orang mulia, guru saya sendiri. Ilmu beliau tidak sembarangan, tidak diragukan, dan saya percaya bahwa memang benar, ketika kita punya ilmu, hidup kita akan mulia.
Dawuh Abah saat itu bukan hanya tentang pengamen atau cuaca panas, tapi juga tentang bagaimana seharusnya seorang penuntut ilmu memahami nilai dari apa yang sedang ia kejar. Ilmu adalah jalan kemuliaan, jika kita benar-benar merendah dan terus menjemputnya dengan sungguh-sungguh.
Sepanjang perjalanan, cerita tetap berlanjut, nasihat terus bertambah, dan banyak hikmah yang bisa diambil. Abah juga menceritakan kepada kami tentang bagaimana suatu pondok bisa maju padahal baru berdiri beberapa tahun. Sebetulnya, ini merupakan instruksi atau isyarat kepada Pak Lurah agar melakukan studi banding, mencari tahu sistem yang tepat sehingga sebuah pondok dapat sukses, lalu menerapkannya di pondok yang ia pimpin.
Sekitar pukul 13.00 WIB, kami hampir tiba di lokasi pernikahan. Kami tahu bahwa gedungnya ada di situ, hanya saja tidak tahu masuknya lewat mana. Akhirnya, saya diminta oleh Abah untuk bertanya kepada warga sekitar. Saya baru membuka kaca mobil, belum membuka pintu, dan tahu bagaimana dawuh beliau? “Nek takok ning wong, mudun seko mobil, ojo mung dibukak kacane, ga sopan (Kalau tanya ke orang, turun dari mobil, jangan hanya membuka kaca, tidak sopan).” Ajaran itu dipraktikkan secara langsung, penting bagi saya yang masih minus akhlak. Begitu besar penghargaan Abah terhadap sesama, mulai dari memberi pengamen sebisa mungkin ketika bertemu, hingga turun dari mobil saat hendak bertanya kepada orang.
Akhirnya, kami bisa masuk ke kompleks Gedung Aula SMAN 3 Salatiga. Namun, karena acara baru dimulai sekitar pukul 14.00 WIB dan suasana masih sepi, kami mencari makan siang dahulu. Pada pemberhentian pertama, sebenarnya kami sudah masuk warungnya. Tapi karena Abah kurang yakin akan kehalalan dan ke-thoyyib-an makanan di tempat itu, beliau memilih untuk kembali lagi ke mobil, mencari tempat makan lain.
Selama mencari tempat makan, Kang Yuskhi sempat mengendarai mobil agak cepat. Abah pun langsung mengingatkan dengan tenang. “Nek nggolek nggon mangan yo alon le nyopir (Kalau cari tempat makan, pelan pelan nyopirnya).” Saya bisa membayangkan bagaimana perasaan Kang Yuskhi saat itu. Sudah mengemudi sambil mikir tempat makan, sekarang ditambah dawuh dari Abah pula. Dan benar saja, belum lama setelah dawuh itu, duar! Seorang pemotor tiba-tiba menyenggol spion mobil kami. Spontan, suasana dalam mobil ikut tegang. Bukan hanya Kang Yuskhi yang dag-dig-dug, saya pun ikut deg-degan.
Akhirnya, kami menemukan suatu tempat makan yang terjamin halal, dekat pom bensin, salah satu menunya bebek goreng seingat saya. Enak dan halal pasti. Dari sini saja kita bisa tahu, bahwa ternyata, kalau mau jadi orang ‘alim, makanan pun harus dijaga. Jangan sembarang makan. Perihal tahu atau tidak tahu bagaimana asal-usul makanan dibuat (biasanya di warung, kan, kita tidak tahu, dan kebanyakan orang menyepelekan hal itu), pasti tetap akan tampak dari luarnya, misal dari kebersihannya. Dengan demikian, kita bisa lebih berhati-hati. Saat itu, kami makannya tidak satu meja dengan Abah (lagi-lagi karena sungkan).
Setelah makan, kami kembali ke lokasi. Abah menjadi orang yang memperantarai kehalalan kedua mempelai, termasuk menuntun Kang Fadhil untuk membaca doa setelah nikah dan menyebul ubun-ubun istrinya. Dalam hati saya sempat mikir, “Beruntung banget Kang Fadhil, didoakan langsung oleh Abah.” Saya? Ya… semoga nanti juga begitu. Walau sekarang belum ada hilal yang tampak, hehe.

Setelah akad selesai, acara dilanjutkan ke resepsi. Abah tidak lama mengikuti jamuan karena hujan mulai turun deras dan hari semakin sore. Kami memutuskan pulang saat langit mulai berwarna jingga. Sepanjang jalan tol, pemandangan senja benar-benar memanjakan mata. Cahaya matahari yang perlahan tenggelam memberi suasana tenang selama perjalanan.
Menjelang waktu Maghrib, kami berhenti di sebuah masjid untuk melaksanakan shalat Jamak-Qashar Maghrib dan Isya. Di sana, Abah berpesan, “Melaksanakan rukhsah itu lebih utama. Kalau syaratnya sudah terpenuhi, qashar dan jamak justru disukai Allah.”
Dawuh itu membuat saya merenung. Selama ini, saya mengira bahwa mengambil keringanan berarti mengurangi atau kurang sempurna. Ternyata, justru sebaliknya. Rukhsah adalah bentuk rahmat Allah yang memberi kemudahan bagi hamba-Nya yang memahami batasan syariat. Saya bersyukur bisa mendapat penjelasan langsung dari beliau di momen perjalanan, bukan hanya dari kitab.
Sesudah shalat, ternyata di samping masjid ada penjual wedang ronde. Abah berkehendak untuk mampir dulu ke situ. Awalnya, saya dan Kang Yuskhi duduk agak jauh, tapi beliau kemudian meminta untuk duduk satu meja saja. Deg. Tidak pernah semeja, sungkan banget ini rasanya. Tapi senang, karena itu adalah momen kedekatan saya dengan sang guru. Kami tidak mengobrol kecuali jika Abah yang bertanya, artinya sekadar menjawab tanpa bertanya balik. Bukan sombong, tapi sungkan.
Wedang ronde habis, Abah yang membayar. Maklum, santrinya nggak bawa uang, hehe. Kami lanjut perjalanan pulang. Saat hampir sampai ndalem, Abah dawuh, “Tulung umumke ning grup, ngajine di kamar masing-masing (Tolong umumkan di grup, ngajinya di kamar masing-masing).” Dan hati saya langsung berseru, “ALHAMDULILLAH YA ALLAH.” Boleh kan, ya? Capek juga habis perjalanan jauh soalnya.
Mobil masuk garasi, kami turun. Tapi sebelum balik ke pondok, mampir dulu ke Warmindo, beli es. Mendinginkan kepala yang tegang seharian. Saya tanya Kang Yuskhi. “Pie, Kang? (Bagaimana, Kang?)” Dijawab sambil ketawa. “Mantap, Dik! Hahahaha.”
Penulis: HN Sidik | Editor: Nayla Sya
