Oleh : Muhammad Fatih
Lebih dari sebulan yang lalu, tepatnya pada momen peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad saw. tahun 1446 H, Abah kembali dari perjalanan panjangnya. Beliau ngendikan yang kurang lebih seperti ini, “Rindu hati ini setelah sekian lama tidak bersua dengan para santri”. Beliau juga berkata bahwa sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadan, dan tidak sabar akan kedatangannya, sehingga diminta segera mempersiapkan kegiatan “Ramadan fil Ma’had“.
Sedihnya, tak lama berselang, Abah terkena penyakit gula yang bukanlah hal sepele. Namun seperti kata Efek Rumah Kaca dalam salah satu liriknya, “Diabetes adalah sebuah proses yang alami”. Doa selalu kita panjatkan untuk kesembuhan beliau. Aamiin…
Sudah menjadi informasi umum bahwa Abah Yai Munir Syafa’at sedang menjalani proses penyembuhan sehingga belum bisa menemani para santrinya secara dhohiriyah pada bulan Ramadan tahun ini. Hal tersebut menjadi pembeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tatkala matahari terbit dan tenggelam hingga menjelang sepertiga malam kedua, kita selalu bermuwajahah dengan beliau. Namun, bukan hanya faktor tersebut yang membedakan Ramadan kali ini dengan tahun-tahun sebelumnya.
Ada beberapa hal menarik dan menjadi angin segar bagi para santri Ponpes Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien maupun Nurul Ummah Putri yang patut di-highlight pada “Ramadan fil Ma’had” kali ini.
Setiap hal, tragedi, atau peristiwa apa pun pasti mengandung hikmah. Dalam kacamata penulis meyakini bahwa kondisi Abah yang sedang sakit tidak hanya menjadi sebagai musibah belaka, namun juga membawa berkah atau anugerah. Tanpa menafikan permohonan akan kesembuhan beliau. Beberapa hikmah yang menjadi alasan Ramadan tahun ini terasa berbeda bagi penulis yaitu:
1. Pembukaan Luring dan Daring
Secara formal dan luring, kegiatan “Ramadan fil Ma’had” dibuka oleh Gus Inan di Pendopo Al-Khodijah. Sungguh mengharukan sesampainya di kamar, ternyata Abah ikut membuka kegiatan ini secara daring melalui pesan voice note WhatsApp yang dikirimkan ke grup pondok. Permohonan maaf atas ketidaksanggupan Abah untuk menemani selama bulan Ramadan beserta wejangan dan doa dari beliau sangat menyentuh hati. Namun juga menjadi bahan bakar tersendiri untuk mengobarkan api semangat para santri dalam mengaji maupun beribadah di bulan Ramadhan ini.
2. Kajian Variarif
“Ngaji Pasan” adalah istilah tersendiri bagi santri PPKHM dalam menyebut “Ramadan fil Ma’had“. Karena hal penting dari kegiatan pondok di bulan puasa tak lain adalah ya ngaji. Biasanya, kajian spesial bulan Ramadan yaitu mengaji kitab Ihya Ulumuddin juz 3, Tanwirul Qulub, dan Dalailul Khairat. Namun untuk tahun ini, ketiga kitab tersebut tidak dikaji karena absennya Abah Yai. Sebagai gantinya, jam kajian Abah diisi mengaji kitab Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, Adabul Alim wal Muta’alim, dan Kifayatul Atqiya’. Ada kesedihan karena tidak jadinya khataman kitab Tanwirul Qulub. Namun dari kajian yang berbeda, tentu ada insight yang berbeda pula, dan alhamdulillah insightfull.
3. Panggung untuk Pengampu Muda
Kajian berbeda tersebut diisi oleh pengampu yang lebih variatif. Pada Ramadhan kali ini, beberapa penerus Abah di masa depan menghiasi panggung kajian yang kosong. Hal ini menjadi angin segar bagi para santri dengan hadirnya Gus Muna, Gus Inan, dan Ustadz Bahar. Dengan bertambahnya intensitas beliau-beliau tersebut, harapannya bisa semakin mendapat ruang di hati para santri. Di samping itu, ada Ustadz Minan yang bagi penulis semakin powerfull dalam menyampaikan setiap materi dari kitab Daqaiqul Minhaj lil Imam Nawawi. Mereka memiliki gaya penyampaian masing-masing yang identik dan akan dibahas pada bagian selanjutnya.
4. Ciri Khas Pengampu Muda
Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, penulis sudah menegaskan bahwa para pengampu muda memiliki ciri khas masing-masing. Mulai dari Gus Muna yang menambahkan pembacaan selawat “Burdah” dan syair “Kalamun Qodim” pada setiap kajiannya. Beberapa santri mungkin terkejut dengan gaya maknai beliau yang relatif cepat dan terkadang langsung to the point. Berbeda dengan penulis yang sudah setahun diajar beliau di madin sehingga terbiasa hehe. Menariknya, beliau sering menyelipkan kritik sosial budaya santri secara gamblang yang bagi penulis adalah langkah berani dan sangat bagus.
Kedua ada Gus Inan yang begitu kaya akan referensi literatur maupun wawasan lintas disiplin keilmuan. Hal ini sangat relevan bagi audiens (santri) yang notabenenya adalah seorang mahasiswa. Tak jarang juga beliau menyelipkan isu sosial atau sekedar tren yang sedang naik daun. Gaya maknai beliau cenderung pelan tapi tanpa jeda dan pengulangan. Beberapa santri mungkin kewalahan jika terlewat karena terganggu suara bising. Namun lain cerita bagi mereka yang fokus. Beragam kisah yang sarat akan hikmah membuat kajian beliau begitu menarik, dan sayang untuk dilewatkan.
Ketiga yaitu Ustadz Bahar yang secara mendadak menggantikan peran Kiai Zainal Arifin untuk mengisi kajian sore hari. Karakter beliau yang jenaka mampu mengisi perut para santri yang tengah kosong. Jokes atau candaan yang beliau lontarkan selalu relate bagi para santri, tanpa keluar dari topik kajian. Mengingat beliau yang sudah lama nyantri di PPKHM, membuatnya tidak menghendaki untuk duduk di palenggahan Abah. Gaya maknai beliau juga begitu mirip dengan Abah. Tak heran jika kajian sore selalu rame.
Terakhir yaitu Ustadz Minan yang sudah mengisi dari tahun-tahun sebelumnya. Pak Minan mungkin bukan wajah baru lagi dalam Ramadhan kali ini, namun gaya penyampaiannya selalu fresh. Hal ini subjektif dari pengamatan penulis yang telah lama diajar beliau. Sama seperti Ustadz Bahar yang beranjak dari seorang santri PPKHM, cara maknai Pak Minan mirip seperti Abah. Beliau yang begitu fokus di dunia akademis mampu menghadirkan pola pikir ilmiah dalam mengkaji kitab turats. Beberapa pendekatan dan kosa kata ilmiah beliau gunakan untuk menjelaskan materi kitab. Hal tersebut yang membuatnya berbeda dari dahulu awal-awal beliau mengisi kajian.
5. Antusiasme Santri
Ada kebijakan panitia dan pengurus untuk menertibkan santri agar selalu aktif dalam mengikuti setiap kajian. Peran pengampu muda untuk mengisi jam kajian Abah yang kosong juga membuat pembagian kelas tidak dapat dilakukan, karena terbatasnya SDM pengampu. Akhirnya tidak ada pembagian antara kelas atas dan bawah pada Ngaji Pasan tahun ini. Sehingga kajian pendopo Al-Khadijah nampak tak pernah sepi. Namun, alasan tersebut menurut penulis bukan faktor utama yang membuat santri begitu antusias dalam mengikuti setiap kajian. Melainkan faktor-faktor pembeda yang telah penulis sampaikan sebelumnya. Apapun alasannya, euforia santri sebagai tren positif pada Ramadhan tahun ini patut disyukuri, dan semoga terus berkembang lebih baik pada tahun-tahun berikutnya.
6. Tamu Tak Terduga
Sedikit kejutan yang terjadi pada Ramadhan tahun ini yaitu kedatangan tamu dari MTs Negeri 1 Yogyakarta. Mereka ingin memberikan pengalaman mondok para siswanya meskipun cuma semalam. Kegiatan tersebut memiliki konsep “Pesantren Kilat Ramadan”. Meskipun dilaksanakan pada penghujung bulan ketika rangkaian kegiatan “Ramadan fil Ma’had” telah usai, acara tersebut mampu menambah warna Ramadan tahun ini. Selain itu, seusai terselenggaranya acara tersebut dengan sukses, saya yakin kita akan semakin bersemangat dalam menyiarkan pondok ke masyarakat yang lebih luas.
Seperti itu kiranya vibes “Ngaji Pasan” atau “Ramadan fil Ma’had” pada tahun 1446 H yang sedikit berbeda namun begitu menarik dan berkesan. Segala yang tertuang pada tulisan ini hanya sesempit kacamata penulis. Selebihnya saya yakin setiap santri memiliki pengalaman dan pandangan berbeda terkait Ramadan kali ini. Ada yang tidak terwakili maupun tak sependapat dengan saya. Namun penulis sangat ingin mengabadikan secuil keseruan Ngaji Pasan tahun 2025 melalui tulisan ini.
Di samping keseruan ini, besar harapan penulis agar Abah Munir bisa segera membersamai kita lagi. Oleh sebab itu, mari kita selalu langitkan doa untuk kesembuhan beliau. Al Fatihah…
Akhir kata, perkenankan saya mewakili keluarga besar Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien dan Nurul Ummah Putri untuk mengucapkan:
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H
Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin
Muhammad Fatih | Penulis
Deri | Editor