Nupipress – Kata maaf di dalam al-Qur’an hadir dengan istilah yang berbeda-beda. Terkadang al-Qur’an menggunakan kata safhun (berarti lapang atau lembaran baru). Al-Qur’an juga menggunakan kata ghufrun (berarti ampunan). Dan terkadang pula al-Qur’an menggunakan kata ’afwun untuk menunjukkan makna maaf.  Menurut  Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab ‘afwun memiliki arti menghapus atau menghilangkan. Itulah sebabnya orang yang memaafkan dianggap sedang menghapus atau menghilangkan kesalahan orang lain terhadap dirinya.

Kata al-’afwu di dalam al-Qur’an telah disebutkan sebanyak 35 kali dalam 11 surat. Di antara ayat yang berbicara tentang maaf ialah firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 133-134:

۞ وَسَارِعُوۡۤا اِلٰى مَغۡفِرَةٍ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالۡاَرۡضُۙ اُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِيۡنَۙ‏ ۞ الَّذِيۡنَ يُنۡفِقُوۡنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالۡكٰظِمِيۡنَ الۡغَيۡظَ وَالۡعَافِيۡنَ عَنِ النَّاسِ​ؕ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الۡمُحۡسِنِيۡنَ​ۚ‏

Artinya: “Dan bergegaslah kamu semua mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya setara dengan langit dan bumi. Surga yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.”

Dalam menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah mengatakan bahwa ayat tersebut memberitahukan kepada kita bagaimana tahapan seorang manusia dalam merespon kesalahan orang lain. Menurut beliau, setidaknya ada tiga tahapan seseorang dalam menghadapi kesalahan orang lain.

Adapun tahapan yang pertama ialah tahapan al-Kazhimina, di mana seseorang mampu mengendalikan amarahnya meskipun dia memiliki dendam terhadap orang yang menzaliminya. Walaupun hatinya bergejolak, dia tidak lantas terdorong mengikuti hawa nafsunya untuk melakukan balas dendam. Kata al-Kazhimina sendiri memiliki arti orang-orang yang mampu menahan diri.

Tentu kita masih ingat peristiwa kekalahan umat Islam dalam perang Uhud yang terjadi pada tahun ketiga hijriyah. Saat itu, paman Nabi yang bernama Hamzah tewas di tangan Wahsyi, seorang budak milik Hindun istri dari Abu Sufyan. Tak hanya dibunuh, jenazah Sayyidina Hamzah lantas dibelah dadanya dan hatinya dikunyah oleh Hindun.

Ketika mendengar kabar tersebut, Nabi diliputi dengan amarah. Sampai beliau pun berkata: “Jika Allah menganugerahkan kepadaku kemenangan atas kaum musyrikin Quraisy pada salah satu pertempuran, maka pasti akan kubalas kematian Hamzah dengan 30 orang musyrik.”

Namun, tak lama kemudian Allah SWT menegur Nabi-Nya dengan menurunkan surat an-Nahl ayat 126:

وَاِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوْا بِمِثْلِ مَا عُوْقِبْتُمْ بِهٖۗ وَلَىِٕنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصّٰبِرِيْنَ

Artinya: ”Jika kamu hendak melakukan pembalasan, maka balaslah dengan (balasan) yang setimpal sebagaimana siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika kamu bersabar, sungguh hal itu benar-benar lebih baik bagi orang-orang yang sabar.”

Meskipun teguran di atas ditujukan kepada Nabi, akan tetapi aturan ini berlaku secara umum untuk seluruh umat Islam. Artinya, seorang muslim diperbolehkan membalas perilaku buruk orang lain terhadap dirinya dengan syarat setimpal (tidak berlebihan). Namun, seandainya dia mau bersabar, justru hal itu lebih baik.

Di dalam surat al-Maidah ayat 45 Allah SWT juga berfirman:

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفْسَ بِٱلنَّفْسِ وَٱلْعَيْنَ بِٱلْعَيْنِ وَٱلْأَنفَ بِٱلْأَنفِ وَٱلْأُذُنَ بِٱلْأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُۥ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”

Kisah selanjutnya, ketika peristiwa pembebasan kota Mekah terjadi, Rasulullah tidak membalas kematian pamannya. Beliau justru mengampuni Wahsyi,  Budak yang dulunya membunuh paman Nabi itu akhirnya masuk islam dan menjadi salah satu sahabat Nabi. Bahkan dia berjasa membunuh Musailamah al-Kadzdzab, yaitu orang yang mengaku sebagai Nabi setelah wafatnya Rasulullah. Dari cerita di atas, Nabi bersabda dalam sebuah hadis

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Artinya: “Orang yang kuat bukanlah mereka yang menang bergulat dengan lawannya. Orang yang kuat adalah mereka yang dapat menguasai dirinya ketika amarah mendatanginya.”

Kemudian yang kedua adalah tahapan al-‘Afina, yaitu tahapan di mana seseorang tak lagi menyimpan dendam di dalam dirinya melainkan sudah memaafkan segala kesalahan orang lain yang ditimpakan kepadanya. Al-‘Afina sendiri memiliki arti memaafkan dan menghapus. Menurut Quraish Shihab, pada tahapan ini seseorang sudah menjadi lebih baik daripada tahapan yang pertama. Namun, bisa jadi orang tersebut enggan menjalin hubungan dengan orang-orang yang dahulu pernah menzaliminya meskipun dia telah memaafkan mereka.

Di dalam istilah sehari-hari kita sering mendengarkan seseorang mengatakan “sudah memaafkan tapi belum melupakan”. Bisa jadi orang yang demikian ini masuk pada tahapan kedua.

Oleh sebab itu Allah SWT kemudian mengisyaratkan agar kita tidak berhenti pada tahapan pertama dan kedua saja (yakni menahan amarah dan menghapuskan kesalahan orang lain) namun juga beranjak pada tahapan ketiga. Tahapan al-Muhsinin, di mana seseorang hendaknya berbuat baik kepada orang-orang yang pernah menzaliminya. Tahapan ketiga ini dicontohkan oleh Rasulullah ketika beliau tidak membalas perlakuan buruk orang yang memusuhinya tapi justru berbuat baik kepadanya.

Dikisahkan bahwa Rasulullah selalu dilempar kotoran oleh seorang kafir setiap hendak pergi menuju masjid. Namun, pada suatu hari beliau tidak mendapati dirinya mendapatkan perlakuan buruk tersebut. Rasulullah pun mencari tahu ke mana orang yang biasa menzaliminya. Beliau kemudian mengetahui bahwa orang yang biasa menzaliminya itu jatuh sakit. Mendengar kabar tersebut, Rasulullah lantas menjenguknya. Di sana beliau mendoakan kesembuhannya. Karena kebaikan itu, pada akhirnya orang tersebut justru mengucapkan syahadat dan memeluk Islam.

Tahapan ketiga  ini merupakan tahapan yang tertinggi di antara kedua tahapan di atas. Dan ketika seseorang sudah bisa melupakan kesalahan orang lain lalu berbuat baik kepada orang yang pernah menzaliminya, maka hidupnya akan dipenuhi dengan ketenangan.