Foto diambil ketika acara Harlah Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta oleh Tim Media MDHM
Agent of Change, julukan yang sering disematkan kepada mahasiswa untuk menjadi pelaku inisiatif dalam mewujudkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Tapi bagaimana jika julukan tersebut dinisbahkan kepada santri?. Tulisan ini akan merangkum buah pembicaraan dari acara peringatan hari lahir Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta yang ke-14. Sebuah topik yang mampu membuat seluruh santri terdiam dan khusyuk untuk menyimak setiap kata yang disampaikan pembicara malam itu.
Harlah MDHM
Peringatan Harlah Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi-ien (MDHM) Yogyakarta ke-14 diselenggarakan pada 1 Juni 2025. Bertempat di Aula Al-Munawwir Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien (PPKHM) Yogyakarta. Acara ini dibuka dengan penampilan Hadrah Sabilus Syafa’at. Kemudian ada prosesi pemotongan tumpeng hingga sarasehan yang diisi oleh Ustadz Mujib Romadlon, S.Ag. Beliau adalah salah seorang yang memiliki dedikasi terhadap madrasah, yang menjadi pengampu pada kisaran tahun 2015-an.
Menurut Ustadz Minanur Rahman (Kepala Madrasah), 14 tahun bukan hanya sekedar angka, namun perjalanan panjang yang dipenuhi dinamika. Sejak didirikan pada 01 Dzulhijjah 1431 H/29 Oktober 2011 M, terjadi berbagai macam perubahan. Dari pergantian pengampu, kepala madrasah, santri, bangunan, hingga perombakan kurikulum pembelajaran. Hal ini juga mengingatkan kita terhadap perjuangan Alm. Ustadz Mukhlisin atas dedikasi besar beliau yang menjadi kepala madrasah pertama dan membangunnya dari nol. Oleh karena itu, dihadiahkanlah doa khusus untuk beliau pada malam tersebut.
Madrasah adalah Ruh al-Ma’had dan nafas peradaban. Dalam sambutannya, Ustadz Minan juga mengutip dawuh Abah Yai Munir Syafa’at, bahwasanya pondok meliputi bangunan atau fasilitas yang berbentuk fisik, sedangkan ruhnya adalah madrasah diniyah. Tradisi keilmuan yang ada di pesantren merupakan sebuah jejaring atau rantai yang terus bersambung dan menghubungkan para intelektual dari ulama terdahulu, melintasi berbagai peradaban hingga sekarang. Merawat ilmu melalui madrasah mampu membentengi santri dari banjir informasi yang terjadi di era post-truth ini.
Sedangkan Gus Minanullah (Dewan Penasihat Madrasah) dalam sesi sambutannya, beliau menyampaikan bahwa tugas santri tidak hanya belajar ilmu agama, tapi juga menerapkannya pada aspek sehari-hari. Selain itu, zaman terus berubah, kalau tidak menyesuaikan akan ditinggalkan. Peran manusia dapat tergantikan oleh kecerdasan buatan (AI), jika santri tidak menyesuaikan diri, maka agama bisa menjadi sesuatu yang tidak relevan. Oleh karena itu, kontekstualisasi nilai pesantren dalam realitas sehari-hari merupakan hal wajib bagi santri, terlebih mendakwahkannya melalui ruang-ruang digital.
Pada awal sesi sarasehan, Ustadz Mujib yang merupakan bagian dari sejarah MDHM membuka obrolan dengan bernostalgia. Beliau mengaku bahagia bisa kembali ke tempat yang penuh kenangan dengan menyetorkan hafalan beberapa nama yang masih menempel di kepala. Selain itu, beliau juga mengingat kembali beberapa kisah, khususnya yang sarat akan hikmah dan uswah. Ditekankan pula bahwa yang mahal itu uswah atau teladan, yang kadang terlupakan di masa ini. Masa yang tidak perlu susah payah jika sekadar mencari makna kitab. Namun, pemahaman yang tercapai akan terasa gersang tanpa adanya uswah. Bahkan tidak menutup kemungkinan bisa menghasilkan pemahaman yang kurang tepat.
Menyulam Kitab
Tema yang diusung dalam acara ini yaitu “Menyulam kitab di langit Jogja; Santri, Intelektual, dan Jalan Sunyi Perubahan”. Kenapa menggunakan kata “menyulam”?, bukan “membaca”?. Karena jika hanya membaca dan mengartikan kitab, robot juga mampu melakukannya. Sedangkan menyulam yaitu ketika ilmu dan amal saling berkaitan. Menyulam kitab adalah merangkai hikmah demi hikmah. Dengan menyulam, kita tidak hanya mendapatkan pemahaman dari sebuah teks kitab, namun juga seribu makna kehidupan yang tak tercantum di dalamnya, yang kemudian bersemayam di tepi lembaran kertas kitab sebagai catatan-catatan uswah. “Membaca kitab tidak cukup hanya dengan mata, tapi juga dengan hati. Dan menyulamnya, adalah pekerjaan jiwa.”, kata Ustadz Mujib.
Jogja, Santri, dan Intelektualitas
Mondok atau kuliah di Jogja merupakan another level of pencarian ilmu pengetahuan. Tanah Jogja dipenuhi jejak para pencari makna. Banyak tokoh besar tumbuh di Jogja bukan karena mereka pandai berpikir, tapi tahu bagaimana cara bersikap. Jogja adalah tempat ilmu bertumbuh dan ruang bagi huruf-huruf kitab kuning bertemu lembaran jurnal ilmiah. Di Jogja, adab dan akal bukanlah dua kutub yang berseteru, tapi sepasang sayap yang membuat santri mampu terbang lebih tinggi.
Meskipun zaman berubah, namun santri tidak boleh tercerabut dari akarnya. Ini tentang bagaimana menjadi intelektual yang tetap bersanad di tengah dunia yang bangga akan pemikiran liar. Kemudian menjadi santri yang tetap tawadlu’ di tengah dunia yang memuja popularitas. Maka ketahuilah, santri tanpa intelektualitas hanya menghasilkan hafalan, dan intelektual tanpa adab hanya menghasilkan kesombongan.
Jalan Sunyi Perubahan
Perubahan sejati kadang terjadi begitu senyap. Tanpa butuh sorotan atau haus akan tepuk tangan. Melainkan tumbuh perlahan seperti akar yang menyelinap ke bumi. Tak terlihat, tapi menentukan arah tumbuhnya pohon. Begitulah jalan yang ditempuh para ulama, pejuang, dan pemikir Islam sejati. Mereka tidak meledakkan dunia dengan jargon yang wah, tapi mengalirkan ruh perubahan melalui istiqamah, khidmah, dan uswah.
Maka dari itu, Ustadz Mujib mengajak kita untuk menempuh jalan sunyi perubahan. Jalan yang tak populer namun disaksikan langit. Jalan yang tak ramai namun meninggalkan jejak abadi di hati umat. Bukan badai yang gaduh, namun hujan kecil yang tenang dan meresap ke bumi, lalu menumbuhkan kehidupan. Berawal dari situs, lalu ritus, hingga menjadi status.
—
Pada malam tersebut, kita tidak belajar untuk mengubah dunia selayaknya revolusi Perancis yang begitu heroik, melainkan melalui langkah kecil implementasi nilai-nilai agama yang dirajut dengan konsistensi. Sebagai santri, kita tidak hanya disiapkan agar mampu bertahan di tengah hiruk pikuk zaman, namun juga mampu turut andil dalam membangun peradaban.
Meniru harapan Ustadz Minan, semoga harlah ini menandai babak baru, yang mana madrasah tidak hanya bertahan tapi juga memimpin, tidak hanya bertumbuh tapi juga menumbuhkan. Dari jalan sunyi tersebut, peradaban dimulai.
Penulis : Muhammad Fatih | Editor : Deri