
Mari kita kosongkan gelas dulu, bersiap untuk memahami, dan merenungi dengan perlahan. Coba bayangkan, waktu itu seperti selembar kertas. Kita biasa melihatnya seperti garis lurus yang selalu berjalan secara konstan dari pagi ke malam, hari ke hari, tahun ke tahun. Tapi bagaimana jika kertas itu dilipat? Titik awal dan akhir bisa bertemu. Jarak yang jauh bisa sekejap terasa dekat. Inilah gambaran sederhana tentang bagaimana waktu bisa “dilipat”. Sebuah ide besar yang ditemukan oleh seorang ilmuwan bernama Albert Einstein[1], dan jauh sebelumnya… telah dijalani oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam peristiwa Isra Mikraj.
Einstein, ilmuwan jenius abad ke-20 itu, bukan langsung menemukan rumus dan teori besar. Ia adalah seorang yang gemar merenung, menatap bintang, memikirkan cahaya, dan membayangkan
“Bagaimana kalau aku naik cahaya?”.[2] Ia, membayangkan dirinya duduk di atas cahaya dan menyadari waktu akan terasa berbeda bagi yang bergerak sangat cepat dibanding yang diam. Dari perenungan itulah lahir teori relativitas khusus[3] yang menjelaskan bahwa waktu bukan mutlak. Ia bisa melambat, bahkan berubah, tergantung kecepatan dan kondisi ruang. Teori ini terdengar baru.
Tapi apa jadinya jika kita menyadari bahwa Nabi Muhammad ﷺ telah mengalaminya lebih dari 1400 tahun lalu?
Isra Mikraj adalah perjalanan luar biasa. Dalam suatu malam, Rasulullah ﷺ diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu naik menembus tujuh lapis langit. Beliau bertemu para nabi menyaksikan surga dan neraka, bahkan menerima perintah shalat langsung dari Allah. Tapi ketika beliau kembali ke rumah, tempat tidurnya bahkan belum dingin[4]. Secara logika manusia biasa, mustahil. Tapi dalam Al-Qur’an, Allah membuka kisah itu dengan kalimat:
“sub-ḫânalladzî asrâ bi‘abdihî laila…”
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam…”
(QS. Al-Isra’: 1) [5]
Imam al-Razi menjelaskan bahwa lafaz “Subhan” di awal ayat bukan sekadar pujian, tapi penegasan bahwa peristiwa ini melampaui hukum fisika biasa [6]. Bukan sekadar mimpi dan bukan perjalanan khayalan. Bahkan menurut Tafsir al-Alusi, Nabi mengalami perjalanan di dalam dimensi waktu yang berbeda dari bumi[7]. Ulama besar seperti Imam Nawawi pun meyakini perjalanan ruh dan jasad bukan sekadar ruhani [8].Sains mendukung hal itu, dalam teori relativitas khusus jika seseorang bergerak sangat cepat mendekati kecepatan cahaya maka waktu akan melambat baginya. Maka perjalanan panjang bisa terasa singkat persis seperti peristiwa Isra Mikraj. Dan ini bukan teori kosong, dalam dunia nyata eksperimen NASA membuktikan bahwa jam yang berada di luar angkasa berdetak lebih lambat dibanding jam di bumi [9].Misalnya pada satelit GPS yang mengorbit bumi. Satelit ini bergerak sangat cepat di ketinggian sekitar 20.000 km dari permukaan bumi. Karena kecepatannya dan pengaruh medan gravitasi yang lebih lemah di atas sana jam di satelit mengalami perbedaan waktu sekitar 38 mikrodetik per hari dibanding jam di bumi. Angka ini terdengar kecil, tapi jika tidak dikoreksi maka GPS akan memberikan lokasi yang meleset hingga 10 kilometer per hari! [10] Maka para ilmuwan harus terus mengkalibrasi (menyesuaikan) waktu di satelit agar tetap sinkron dengan waktu di bumi.
Ini bukti nyata bahwa relativitas waktu benar-benar terjadi dan waktu bukan mutlak. Ia bisa diperlambat. Ia bisa dibelokkan dan itu bukan baru ada hari ini. Nabi Muhammad ﷺ sudah
menjalaninya lebih dulu dengan izin Allah, ketika menembus langit bersama Buraq dalam peristiwa Isra Mikraj. Nabi ﷺ tidak naik dengan kendaraan biasa. Dalam riwayat disebut Buraq, makhluk yang kecepatannya secepat pandangan mata[11]. Maka jika hari ini ilmuwan baru membuktikan bahwa waktu bisa dilipat oleh kecepatan cahaya, mukjizat Rasulullah ﷺ sudah mencontohkannya terlebih dahulu dengan izin Allah. Isra Mikraj bukan hanya kisah agung dalam sirah, tapi juga jendela ilmu yang membuka pikiran dan iman kita. Bahwa waktu bukan milik kita. Bahwa ruang bisa dilewati.
Bahwa Allah, Sang Pemilik Semesta bisa mengatur segalanya tanpa batas. Maka waktu yang kita pikir linier, bisa saja bagi Allah seperti lembar kertas yang dilipat hingga ujungnya bertemu.
Isra Mikraj mengajarkan kita bahwa mukjizat bukan untuk ditantang akal, tapi untuk menggugah tafakkur. Bahwa iman dan ilmu bisa berjalan beriringan. Bahwa semakin dalam kita belajar, semakin tunduk hati kita kepada Kekuasaan-Nya yang tak berbatas. Jika Nabi bisa menembus langit dalam satu malam, kenapa kita tidak bisa menembus batas pikiran kita untupercaya? Jika waktu bisa dilipat oleh sains, mengapa kita tak bisa melipat keraguan dengan keyakinan?
Daftar Refensi
[1] Brian Greene, The Fabric of the Cosmos, tentang konsep waktu dan ruang.
[2] Einstein, Albert. Relativity: The Special and the General Theory. (thought experiment)
[3] Penjelasan teori relativitas khusus – sumber populer: Hawking, Stephen. A Brief History of
Time.
[4] HR. Al-Bukhari dan Muslim: “Tempat tidur Nabi belum dingin ketika beliau kembali dari
Mi’raj.”
[5] QS Al-Isra’ ayat 1, bisa ambil dari mushaf atau tafsir resmi.
[6] Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, tafsir awal ayat 1 Surah Al-Isra’.
[7] Tafsir al-Alusi, Ruh al-Ma’ani.
[8] Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, bab Mi’raj.
[9] Hafele–Keating Experiment (1971) atau penyesuaian waktu di GPS system oleh NASA.
[10] Neil Ashby, “Relativity in the Global Positioning System”, Living Reviews in Relativity, 2003.
[11] HR. Muslim dari Anas bin Malik tentang deskripsi Buraq.
Penulis : Siti Khoirunnisa | Editor : Deri