Imam Al Bushairy Dalam Syair Burdahnya mengatakan:
مَنْ لِى بِرَدِّ جِمَاحٍ مِنْ غَوَايَتِهَا 🌹كَمَايُرَدُّ جِمَاحُ اْلخَيْلِ بِالُّلجُمِ
“Siapakah kita yang mampu menolak liarnya puncak hawa nafsu. Sebagaimana halnya menolak Keliaran kuda melalui kekang”.
Bait diatas memberikan ilustrasi betapa dahsyatnya gejolak hawa nafsu, bahkan tak seorangpun mampu menolaknya. Ketika nafsu datang dengan menggila ibarat kuda liar yang tak mampu dihentikan dengan tali kekang. Demikian halnya nafsu dalam diri manusia. Maka sangat naif jika seseorang mengatakan ia tidak memiliki kecenderungan syahwat terhadap suatu hal. Lalu bagaimana menyikapinya? Kemudian pada bait selanjutnya Imam Bushairi kembali berkata:
فَلَا تَرُمْ بِالْمَعَاصِى كَسْرَ شَهْوَتِهَا 🌹 إِنَّالطَّعَامَ يُّقَوِّى شَهْوَةَ النَّهِمِ
“Maka janganlah kamu berkehendak memecah syahwat dengan melakukan maksiat. Sesungguhnya makanan menguatkan syahwatnya orang yg rakus”.
Bait ini memuat pesan yang begitu dalam yaitu larangan untuk bermaksiat meski spontanitas terkesan dapat menundukkan hawa nafsu. Bahkan diksi yang digunakan yaitu كَسْرَ شَهْوَتِهَا merupakan upaya penyair agar siapapun lebih teliti dan hati-hati dalam mengambil sikap. Memecah syahwat sekalipun terlihat sederhana dan mungkin dianggap hanya memiliki sedikit konsekuensi dari dosa, malah sikap ini dapat mengantarkan seseorang terjerumus dan terkurung dalam bahaya dosa yang tak berkesudahan. Argumen ini diperkuat dengan bait selanjutnya:
وَالنَّفْسُ كَالطِفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى🌹 حُبِّ الرَّضَاعِ واِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمُ
“Nafsu itu ibarat anak kecil jika dibiarkan maka ia akan tumbuh besar dengan kebiasaannya menyusu. Namun jika ia disapih maka ia akan berhenti”.

Lalu Imam Bushairi menegaskan bahwa nafsu itu sifatnya mengikat. Maka memilih menuruti hawa nafsu tak ubahnya membiarkan candu itu terus menggerogoti jiwa seseorang. Bentuk metaforis dalam bait diatas sangat sarat dengan makna. Nafsu yang diperumpamakan anak kecil dengan hobinya menyusu, lalu dibiarkan menjadi habbit atau kebiasaan hingga dewasa. Tentu sangat sulit untuk dihentikan. Berbeda dengan jika ia disapih atau dilatih berhenti dari kebiasaan menyusu, pasti perlahan-lahan ia akan terlatih dengan sendirinya.
Petuah-petuah dalam syair Burdah karya Imam Bushairi ini pada dasarnya masih sangat relevan dengan isu-isu kontemporer pada hari ini. Seperti yang kita ketahui akhir-akhir ini jagad medsos sedang digegerkan dengan berita-berita korupsi di tengah ketimpangan dinamika sosial-politik yang sedang memanas dengan kebijakan-kebijakan barunya. Seperti kasus korupsi Dirut Pertamina sebesar 193,7 T terkait tata kelola minyak yang sangat merugikan negara. Tindakan tersebut memang perlu dikecam, Namun jika kita pelajari lebih dalam tindakan ini lebih pantas disebut Fomo (baca: Fear Of Missing Out). Sebuah kecemasan atau kegelisahan akan tertinggal suatu tren. Kenapa demikian? Jelas, disadari atau tidak korupsi seolah-olah sudah menjadi tradisi turun temurun di setiap sektor pemerintahan maupun swasta. Jadi jika tidak ikutan korupsi? Ada semacam perasaan bersalah karena tidak mengikuti tren yang ada. Maka jika kita kembalikan pada beberapa solusi yang ditawarkan Imam Bushairi dalam syairnya, jawabannya adalah “Cukup untuk tidak melakukan maksiat (Baca: Korupsi) saja”. Hal ini merupakan langkah praktis melatih hawa nafsu sejak dini sebelum akhirnya menua sebagai budaknya. Walaupun tidak dapat dipungkiri pada kenyataannya korupsi bisa saja terjadi dimana, oleh siapa, pastinya mereka yang memiliki kesempatan. Bukankah itu berarti kita juga bisa berbuat demikian?

Penjelasan oleh: Agus Sahlul Muna
Ditulis ulang oleh: Rachmawati Husnul Latifah
Editor : Deri