Lentera yang Tak Padam: Tentang Ilmu yang Menghidupkan

Di pesantren, kita sering melihat santri yang khusyuk beribadah, tekun mengaji, dan rajin bangun malam. Semuanya adalah gambaran ke-shalih-an yang patut diteladani. Namun, dalam khazanah keilmuan Islam, ada satu derajat yang lebih tinggi dari sekadar ke-shalih-an pribadi: derajat orang yang faqih, yakni orang yang mendalami agama dengan ilmu.

“Fadhlul ‘alim ‘alal ‘abid ka fadhlil qamari ‘ala sa’iril kawakib.”

“Keutamaan orang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

Nabi ﷺ menggambarkan perbedaan antara orang alim dan ahli ibadah dengan perumpamaan yang sangat indah. Bintang-bintang memang bercahaya, tapi cahayanya hanya untuk dirinya sendiri. Sementara itu, bulan memantulkan cahaya yang menerangi sekelilingnya. Seorang faqih seperti bulan itu: bukan hanya shalih untuk dirinya, tapi juga menyalakan cahaya hidayah bagi orang lain. Ilmunya menjadi pelita di tengah gelapnya zaman.

Banyak ulama besar dalam sejarah Islam yang bukan dikenal karena kekayaannya atau keturunannya, tetapi karena ilmunya. Mereka mungkin wafat tanpa anak, tapi namanya tetap disebut ribuan santri setiap hari. Doa tak pernah putus dari lisan penuntut ilmu. Inilah keistimewaan ahli ilmu: mereka punya “nasab ruhani” yang disambung oleh murid-muridnya. Imam Nawawi, misalnya, dikenal zuhud dan tidak menikah, tetapi jutaan orang membaca Riyadhus Shalihin dan Syarh Shahih Muslim karya beliau hingga hari ini. Lihatlah, berapa banyak anak cucu biologis yang tetap didoakan umat setelah berabad-abad? Tapi para ulama, meski telah wafat lama, masih disebut dalam doa-doa.

Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Kifayatul Atqiya’ karya Syaikh Al-Husaini:

“Al-faqih idza mata lam yamut ‘ilmu-hu. Wa al-jahil idza mata ma‘ahu ‘aqluhu.”
“Seorang faqih bila wafat, ilmunya tidak mati. Sedangkan orang jahil, ketika ia mati, ikut mati pula akalnya.”

Kalimat ini disampaikan Gus Inan dalam pengajian beliau, menegaskan bahwa orang alim tidak benar-benar mati. Ilmunya hidup dan terus memberi manfaat, bahkan setelah tubuhnya dikubur.

Ilmu juga tidak berhenti pada buku. Ilmu adalah hidup, bergerak, dan meresap dalam jiwa. Seorang faqih bukan hanya ahli hukum, tapi juga pembawa solusi. Ia mampu menjawab kebutuhan zaman dengan dalil, bukan hanya dengan prasangka. Maka tak heran, para ulama mengatakan bahwa satu orang faqih lebih berat bagi setan daripada seribu abid. Sebab, si alim tahu di mana letak jebakan syubhat dan bisa menunjukkan jalan dengan hujjah.

Jadi, bukan berarti ahli ibadah itu rendah derajatnya. Namun, orang yang berilmu akan lebih besar manfaatnya. Jika orang shalih memperbaiki dirinya sendiri, orang alim memperbaiki umat. Bila ibadah memberi pahala, ilmu memberi warisan. Bahkan disebutkan dalam hadis, jika seseorang meninggal, amalnya terputus kecuali tiga hal: salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Maka barang siapa yang menanam ilmu, ia sedang menanam keabadian.

Di tengah derasnya arus kebodohan, kaburnya nilai, dan hilangnya adab, kehadiran seorang faqih menjadi harapan. Ia bukan hanya pribadi yang baik, tapi juga menjadi penunjuk jalan bagi orang lain. Maka, tak heran jika dalam wasiat para ulama disebutkan bahwa faqih satu lebih ditakuti Iblis daripada seribu ahli ibadah

“Iblis lebih takut pada seorang alim daripada seribu ahli ibadah.”

(Riwayat Tirmidzi)

Karenanya, menjadi faqih adalah proyek besar: bukan sekadar untuk diri sendiri, tapi untuk umat. Ilmu adalah jalan panjang, tapi siapa yang ikhlas menjalaninya, namanya akan tetap harum bahkan setelah tubuhnya kembali menjadi tanah. Jadi, mari kita ambil jalan yang lebih bermanfaat. Menjadi faqih bukan sekadar ambisi pribadi, tapi bentuk cinta pada umat. Dan ingat: nasab ilmu lebih abadi daripada nasab darah, karena yang satu berakhir di kubur, sedang yang lain hidup hingga akhir zaman.

Penulis: Siti Khorunnisa | Editor: Nayla Sya