
Sayup-sayup tak lagi terdengar bait-bait syair burdah yg biasanya didendangkan bersama oleh santriwati di Pendopo Khadijah saat kajian bersama Gus Amun. Juga suara tenang Gus Minan saat membacakan kitab Kifayatul Atqiya. Atau gema bacaan tadarus Al Quran di masjid lantai satu Al Faruq. Perlahan semua sepi, hanya ada beberapa santri yg tinggal hingga hari ini. Mayoritas mereka pulang setelah menyelesaikan taftis RFM di kantor pusat.
“Kamu nggak pulang nduk?” Sapaku sambil melipat mukena. Sudah menjadi tradisi di Pesantren kami bagi siapapun yg menjadi lurah atau pengurus harus rela pulang akhir atau lebaran pertama di tempat.
Sembari tersenyum ceria, bocah kecil itu menjawab. Aku pulang kok, ini masih menunggu jemputan Baba dan Bubu. Katanya tadi sudah otw dari bandara Jayapura. “Bu Chisna nggak pulang?” Ia balik bertanya. “Oh.., Bu Chisna ya pulang tapi besok lebaran kedua” jawabku sambil mencubit lengannya. “Wah, besok aku nggak mau jadi lurah ah, nanti nggak bisa liburan lama di rumah” ujarnya polos. Nanti kalau Baba sudah WA aku dipanggil ya buk. Aku mau siap-siap dulu, ucapnya lalu berpamitan.
Aku terus memandangi Naira dari jauh. Siswi kelas 7 SMP Darussalam itu termasuk santri berprestasi. Ia kerap juara 1 di sekolah maupun madrasah. Ia memang jarang pulang selain karena baru 1 tahun ini nyantri, rumahnya pun jauh dari Jogja tepatnya Sorong Papua. Pernah suatu hari Bu Nyai memanggilku ke Ndalem, beliau banyak bercerita tentang keadaan Naira dan keluarganya. Naira itu keluarga Muallaf mbak. Orangtuanya dulu beragama Kristen, Alhamdulillah sudah hampir tujuh tahun ini mereka masuk Islam. Di Papua orangtua Naira punya bisnis pabrik sagu. Itu lho, tepung sagu Liauw Liong Tjap Pit yang sering kita lihat di supermarket. Bahkan bisnisnya sekarang sudah merambah ke Eropa. Ya maklum, dimana² etnis Tionghoa itu memang ahli bisnis. Abah juga sering di Japri, Ayah ibunya semangat sekali menitipkan Naira di Pesantren. Kadang mereka juga tak segan bertanya perihal hukum atau masalah fiqh. Besar harapan mereka agar Naira bisa betah disini dan belajar banyak ilmu agama. “Sampean tau sendiri kan mbak? Papua itu muslimnya minoritas. Jadi tolong ya Naira didampingi dengan baik”. Pesan Bu Nyai waktu itu.
Terbayang betapa bahagianya orangtua Naira jika mendengar bahwa putrinya sudah hafal lima juz Al-Qur’an selama dua semester ini. Pasti mereka akan semakin bangga dan tidak pernah menyangka sebelumnya.
Tiba-tiba dering HP berbunyi. Nampak jelas di layar foto profil Bu Nyai sedang memanggil. Tumben sekali beliau telfon, biasanya langsung mencariku lewat pintu selatan. Kebetulan kantor pusat tepat berseberangan dengan ndalem dan dipisahkan oleh serambi masjid . “Waalaikumsalam, pripun buk?” Jawabku sedikit pelan. “Ini mbak, ibuk kan lagi acara muslimatan sekalian buka bersama di Danurejan. Coba tolong cek di dapur sudah ada ketupat belum ya?” Tanyakan ke mbak Richa minggu lalu ibuk pesan ke mbok Siti untuk persiapan lebaran. “Baik buk, nanti saya tanyakan dulu ke mbak Richa”. Kemudian panggilan berakhir. Tanpa perlu menunda, Aku segera beranjak menuju kamar mbak-mbak ndalem di lantai dua Darussalam. Meski harus menaiki beberapa anak tangga. Sepintas ku lihat kamar-kamar komplek pelajar nampak rapi. Anak-anak sekarang mulai tumbuh kesadarannya dan peka terhadap lingkungan. Padahal biasanya sampah-sampah plastik berserakan dimana-mana. Bahkan sepanjang koridor tidak pernah lepas dari kertas bekas bungkusan makanan atau piring² kotor dan sendok berkarat. Sungguh sangat memprihatinkan, gedung asrama yang harusnya bersih seperti slogan yg kerap digembor-gemborkan “An-Nadhafatu minal iman” kebersihan adalah bagian dari iman. Faktanya berbanding terbalik, slogan tersebut hanya menjadi hafalan bukan amalan atau tindakan. Baru setelah pihak sekolah aktif mengadakan sosialisasi tentang resiko penyakit akibat lingkungan kotor. Mereka mulai mempraktikkannya di asrama-asrama.
“Lho… Bu Chisna kok disini?!” Tiba-tiba suara lembut dari arah kamar D5 membuyarkan lamunanku. “Ya Allah.., Naira! Bikin kaget saja. Kenapa sih harus nongol gitu dari jendela”. Sambil cekikikan ia menjawab; “Lha Bu Chisna dari tadi dipanggil nggak respon-respon sih. Oh ya, sudah ada balasan dari Bubu belum ya?” Terlihat wajahnya memelas. “Tadi belum ada yg WA, belum ada notif dari siapa-siapa. Ini malah Bu Chisna disuruh ngecek Ketupat sama Bu Nyai, mau ke kamar mbak Richa dulu nanyain pesanannya”. “Wah, mau dong buk Ketupatnya” rengek Naira. “Kalau mau Ketupat ya harus lebaran di Pondok. Ada opor ayam, kreni ayam, soto, pepes tongkol. Pokoknya lengkap deh! Mau nggak?” “Ih.., Bu Chisna bikin ngiler. Kan jadi pengen buka sekarang”. “Emang kamu doyan makanan kek gituan? Horang kaya jebul doyan ketupat opor juga to”. “Hushhh Bu Chisna nggak boleh gitu, soalnya kalau masakan di pondok itu nggak tau kenapa rasanya beda aja. Menurutku lebih enak daripada masakan chef hotel bintang lima”. “Ah yang bener?” Candaku. “Serius, nanti kalau Bubu dan Baba sudah sampai, kita sahur di Hotel Royal Ambarukmo yuk. Kita buktikan pasti beda rasanya”. “Iya iya, Bu Chisna percaya kok sama Naira”. Ujarku sambil terkekeh.
“Ya sudah, lanjutkan aja packingnya jangan lupa buku ijinnya dibawa pulang. Oppss hampir lupa! Rapotnya dibawa juga biar Baba dan Bubu bangga sama prestasimu. Tapi nggak boleh molor ya, harus tertib sama aturan”.
“Hehe.. Siap Bulucan!” Jawabnya tegas.
“Eh? Bulucan? Apa itu?” Sontak aku dibuat kaget olehnya.
“Bu Lurah Cantik!” Heheee.
“Dasar Cindo! Bisa aja kamu”.
“Naira juga cantik, mirip artis dracin tapi sayang judulnya Kisah Pilu Putri Istana Batu Giok.
Hahaha!” Ku tinggalkan Naira yang terlihat bengong mencerna kalimatku.
Kamar Ndalem
“Assalamualaikum“, Aku mencoba mengetuk pintu sekali lagi.
Terdengar derit pintu terbuka. “Waalaikumsalam. Eh bu lurah, pripun buk?” “Ini mbak, tadi Bu Nyai telepon HP kantor. Beliau tanya soal ketupat? Apa sudah ada di dapur?” Tanyaku.
“Owalah, Ya mbak tadi bakda asar Mbok Siti nganter kulit ketupat ke Ndalem. Aman kok! Nanti malam sudah bisa lemburan masak. Stoknya banyak dapat bonus juga tuh lumayan lah bisa buat seminggu syawalan. Tau sendiri kan tamunya Abah Ibuk itu lintas daerah. Buanyakkk banget, kalau nggak saving dari sekarang besok takutnya kelimpungan”. Papar mbak Richa dengan semangat.
Mbak Richa ini mbak Ndalem super dupernya pondok Kotagede. Sudah pintar masak, karir akademiknya juga cemerlang. Bahkan S2 nya di UGM juga beasiswa LPDP.
“Oke deh mbak kalo gitu. O Ya, lauk buat anak-anak buka nanti sudah ready kan?” Aku kembali bertanya. “H-4 Idul Fitri kali ini agak berkurang dari tahun kemarin. Paling kisaran 10 orang mbak yang masih disini, termasuk Naira yang dari pelajar itu”.
“Aman bu Lurah! tadi Aku sama mbak Neneng sudah masak sayur bening bayam campur jagung muda. Ada pindang sama tempe garit juga. Sambel terasi juga ready”.
“Mantull mbak Richa, emang gak salah pilih Chef kita. Hehehe”. Jawabku lalu pamit.
Senja mulai merona. Burung-burung camar mulai asyik beterbangan diatas kubah. Suara adzan maghrib memecah hening. Gemericik air wudhu para santri memberi isyarat buka puasa telah tuntas. Satu persatu anak-anak bergegas menuju masjid. Setelah jamaah selesai, lanjut lagi amaliyah dalailul khairat. Kemudian shalat isya dan terawih bersama.
Allahumma shali ala muhammad. Ya rabbi shali alaihi wasalim. Kami saling musafahah, bersalaman sembari membaca sholawat. Di momen itu ku lihat Naira sedang khusyuk berdoa diatas sajadahnya, entah apa yg dirapalkan tapi terlihat jelas bulir-bulir bening dari kelopak matanya berjatuhan. Kedua tangannya tegak tengadah layaknya seorang hamba yang sedang dilanda nestapa.
Lalu Aku beranjak pergi dan kembali berjaga di ruang kantor. Iseng-iseng ku buka HP pondok. Ada 30 panggilan tak terjawab. Satu dari kontak atas nama Bubu, lalu satunya atas nama Ibu Nyai. Entah mengapa jantungku mulai berdesir hebat. Buru-buru ku buka aplikasi hijau lalu ku baca pesan dari Bu Nyai. “Mbak, cepat ke Ndalem ya. Saya tunggu!”.
Aku pun segera menuju Ndalem. Pasti ada hal penting. Tak ingin menerka-nerka, ku coba tetap tenang meski perasaanku mulai was-was.
Ku ketuk pintu perlahan. “Assalamualaikum“, ucapku. “Waalaikumsalam. Masuk mbak”, suara Bu Nyai terdengar agak serak. Nampak disana Abah Yai sedang serius menyimak berita di layar TV.
“Pripun buk?” Ku coba memberanikan diri bertanya. Wajah sendu bu Nyai sangat kentara. Seolah ada yang ingin disampaikan namun tertahan. “Naira dimana mbak?” Deg! Badanku sontak lemas mendengar pertanyaan Bu Nyai. “Ngapunten ibuk, tadi saat terawih Naira masih di masjid. Ada apa nggih?”
“Ya allah, Innalillahi Wa inna Ilaihi Rojiun“. Kalimat tarji’ terucap pelan dari lisan Bu Nyai. “Mbak, orangtua Naira kecelakaan pesawat satu jam yang lalu. Barusan ada polisi yang telepon Abah”. Bu Nyai mulai terisak, beritanya juga sudah disiarkan di seluruh stasiun televisi. Belum diketahui pasti apa penyebabnya, tapi ada dugaan serangan teroris di maskapai Sapapua Air. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Aku turut mengucap kalimat itu lagi.
“Panggil Naira kemari ya mbak. Biar nanti ibuk yang bicara”.
Masih dengan perasaan tak percaya, Aku pamit mencari Naira.
Al-Faruq 21.30 WIB
Bocah itu masih belum beranjak. Suara lantunan ayat-ayat suci al Qur’an terdengar fasih dari lisannya. Sepertinya ia sedang ziayadah, terlihat ia mengulang-ulang bacaannya.
“Naira…”, Ku panggil ia dengan nada pelan. Kemudian ia menoleh ke arahku. “Ada apa bu Chisna? Pasti Bubu sudah sampai ya?” Terlihat ia sumringah menyambutku.
Ku coba menahan emosiku, agar ia tak curiga.
“Ini Nai, Bu Nyai manggil Naira ke Ndalem”. Jawabku.
Wah, tumben sekali, sambil mengeryitkan dahinya ia kembali bertanya. “Ada apa ya bu Chisna”, Naira nampak mulai cemas.
“Oh, nggak papa. Kayaknya tadi Abah sama Ibuk mau ngajak kamu keluar. Mungkin mau jemput langsung Bubu di Bandara”.
“Iya juga ya! Naira senang banget buk! Ayok ikut temenin Naira jemput Bubu, Sekalian nanti kita sahur di Royal Ambarukmo. Tadi kan Naira sudah janji ke Bu Chisna. Bubu dan Baba pasti senang kok”, celotehnya.
Aku hanya tersenyum pias. Ku lihat ia berlari menuju Ndalem dengan bahagia.
Naira, semoga kamu kuat Nduk.
Bunyi bedug bertalu-talu. Suara takbir menggema dimana-mana. Ketupat dan opor ayam sudah tersaji di ruang makan Ndalem. Namun Naira masih belum bangun dari tempat tidurnya. Sudah 3 hari ini badannya demam, ia kerap menggigau.
“Bubu..Baba, ayok kita makan ketupat bareng”, ucapnya lirih sambil meneteskan air mata.
Oleh: Erha Latifah Hamdy
Editor : Deri