
Sumber : id.pinterest.com
(Karya ini merupakan finalis Lomba Menulis YKD 2025 yang diselenggarakan dalam rangka menyambut HUT ke-80 Republik Indonesia)
Di tengah kehidupan pesantren, istilah barokah sering dijadikan magnet motivasi santri untuk tekun berkhidmah. Barokah atau yang biasa disebut dengan berkah, secara bahasa berarti bertambahnya kebaikan dan manfaat secara berkesinambungan. Namun, dalam praktiknya, masih banyak santri yang memaknai hal tersebut secara sempit. Mereka berpikir bahwa barokah hanya diperoleh melalui ketaatan mutlak dan khidmah fisik kepada kiai. Padahal dalam khazanah Islam, barokah memiliki makna yang jauh lebih luas dan mencakup berbagai bentuk pengabdian, termasuk melalui jalan keilmuan dan intelektual. Pemahaman yang terbatas ini berpotensi mengekang kreativitas santri serta membatasi mereka dalam mengeksplorasi potensi diri di ranah yang lebih luas.
Menjadi santri harus merdeka dalam pikiran, berani menggali pemahaman secara lebih dalam dan tidak hanya mengikuti tradisi tanpa perenungan. Ini bukan berarti memberontak, melainkan menyelaraskan ketaatan dengan kesadaran intelektual. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam khidmah fisik semata dan melupakan pentingnya kontribusi keilmuan sebagai bagian dari khidmah yang hakiki.Pemikiran sempit seperti itu pernah saya temukan sendiri di lingkungan pondok tempat saya nyantri dulu. Banyak santri putra yang lebih sendiko dawuh1 pada perintah dari pondok dibandingkan dengan tanggung jawab mereka sebagai pelajar di sekolah formal. Bahkan untuk sekadar hadir di kelas, mereka sering kali harus di-oprak-oprak2 terlebih dahulu agar mau berangkat.
Parahnya lagi, dalam hal menghormati dan menghargai, mereka jauh lebih tunduk kepada ustaz-ustazah pondok dibandingkan dengan guru sekolah. Seolah-olah, barokah hanya bersumber dari satu arah: pondok, kiai, dan yang terlihat “agamis”. Sementara itu, peran guru sekolah yang sebenarnya juga sedang menjalankan amanah mendidik, seakan-akan hanya jadi pelengkap kewajiban formal.
Saya sendiri pernah merasakan hal ini ketika menjabat sebagai ketua OSIS. Saat itu, saya bekerja sama dengan santri yang menjabat sebagai ketua dari pihak putra. Sayangnya, dalam menjalankan tanggung jawab, ia tidak sepenuhnya hadir dan berkontribusi. Sekadar untuk dimintai bantuan oleh guru saja sering sulit saat dicari. Padahal, ia sangat aktif dalam kegiatan pondok dan hampir tak pernah absen jika ada dawuh dari ustaz pondok.
Hal ini semakin memperjelas bahwa masih banyak santri yang memprioritaskan barokah khidmah fisik di lingkungan pondok, tetapi kurang memberi perhatian pada pengabdian ilmiah, sosial, dan tanggung jawab formal di ranah pendidikan. Cara pandang seperti ini secara tidak sadar telah merendahkan makna barokah itu sendiri.
Padahal, menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh juga merupakan bentuk khidmah yang tak kalah penting. Menghidupkan kelas, berdiskusi, membaca buku, hingga menyumbang gagasan dalam organisasi atau ruang sosial adalah wujud pengabdian yang bernilai. Namun, aktivitas-aktivitas intelektual ini sering kali dipandang sebelah mata hanya karena tak terlihat “berkeringat” secara fisik.
Mengutip dari NU Online, K.H. Miftachul Akhyar menegaskan, “Barokah adalah ziyadatul khair–tambahnya kebaikan. Barokah itu tidak bisa diminta. Sebetulnya harus masing-masing melakukan amal saleh itu biar barokah.” Ini mengingatkan kita bahwa keberkahan bukanlah sesuatu yang bisa diburu tanpa esensi, melainkan hasil dari amal yang diniatkan ikhlas dan bermanfaat. Maka, santri yang merdeka dalam pikiran seharusnya memahami barokah sebagai hasil dari kesadaran intelektual dan tanggung jawab nyata, bukan sekadar pengabdian fisik.Kiai yang kini sedang menjabat sebagai Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu juga pernah bercerita bahwa suatu ketika ada tamu yang sowan seraya meminta barokah kepadanya. Beliau dengan rendah hati menjawab, “Kalau saya dimintai barokah, saya nggak punya. Umpamanya punya itu saya pakai sendiri.”3Kisah ini memberi pesan bahwa barokah bukanlah sesuatu yang secara otomatis dimiliki oleh kiai atau guru, melainkan anugerah Allah Swt. yang diberikan melalui jalur yang beragam, termasuk melalui ilmu, adab, dan khidmah.
Sejarah membuktikan bahwa santri bukan hanya dikenal sebagai tukang suruh atau pekerja kasar di lingkungan pesantren. Para ulama terdahulu adalah contoh nyata bahwa keberkahan bisa diperoleh dari jalan ilmu. Imam Syafi’i misalnya, mendapatkan barokah dari gurunya bukan dengan membantu angkut air atau membangun madrasah, tetapi dengan menjunjung tinggi ilmu yang diajarkan, menghormati proses belajar, dan menulis karya-karya besar yang hingga kini menjadi rujukan dunia Islam. Barokah dari ilmunya terus mengalir meski fisik beliau telah tiada ratusan tahun lalu. Fakta ini menjadi bukti bahwa pengabdian ilmiah tidak kalah bernilai dibanding pengabdian fisik, bahkan dapat meninggalkan jejak kebermanfaatan yang jauh lebih panjang.
Hari ini, bentuk khidmah tidak lagi bisa diseragamkan. Kita hidup di zaman ketika perjuangan tidak selalu tentang mengangkat cangkul, tetapi juga mengangkat pena untuk menyuarakan pikiran. Menjadi aktivis organisasi, menulis di media, membuat gerakan sosial, atau bahkan mengembangkan teknologi berbasis nilai islam, semuanya adalah bentuk khidmah modern. Dibutuhkan keberanian untuk keluar dari zona nyaman dan memperluas tafsir barokah agar kita tidak hanya menjadi santri yang patuh, tetapi juga santri yang berpikir.
Tentu, semangat mengaji dan berkhidmah secara fisik juga tidak kalah penting. Khidmah fisik seperti membantu di pesantren, patuh pada aturan, dan taat pada kiai adalah pondasi utama. Yang terpenting, semuanya harus seimbang. Kalau cuma semangat ngaji tanpa mikir, bisa jadi kaku. Kalau cuma mikir tanpa tindakan nyata, juga kurang lengkap. Jadi, semangat mengaji dan pengembangan ilmu harus berjalan beriringan supaya barokah yang kita dapat tidak sebatas di satu sisi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa barokah itu bukan cuma soal kerja fisik dan taat tanpa berpikir, tetapi juga soal pengabdian lewat ilmu dan pemikiran. Santri yang merdeka pikirannya adalah yang bisa menyatukan keduanya, taat dan kreatif. Jika kita bisa menjaga keseimbangan antara semangat mengaji dan terus belajar, barokah itu bakal mengalir terus, tidak cuma buat diri kita tapi juga buat orang lain.
Yuk, jadi santri yang tidak cuma patuh, tetapi juga pandai berpikir dan berani berkarya. Dengan begitu, kita bisa membawa keberkahan yang nyata untuk pesantren dan umat.
- Patuh dan siap melaksanakan perintah ↩︎
- Harus didesak-desak ↩︎
- KH. Miftachul Akhyar, “Barokah Tidak Dapat Diminta,” NU Online, 5 Oktober 2021, diakses 11 Agustus 2025, https://nu.or.id/nasional/kh-miftachul-akhyar-barokah-tidak-dapat-diminta-HH19A.
↩︎
Penulis: Dita Destiana Wulandari | Editor: Nayla Sya