Bantahan Konseptual terhadap Argumentasi Keanehan Ulama Nahwu

Belakangan saya tergelitik secara fisik dan mental saat sedang bekerja secara remote di Kamar B dengan salah satu unggahan yang dipublikasi di kanal Yayasan Kotagede Darussalam dengan tajuk Ulama Nahwu itu “Agak Laen” pada Senin (9/6/25). Tidak pernah se-excited ini untuk memberikan tanggapan terhadap tulisan, karena cuitan demi cuitan yang disajikan oleh penulis tampaknya sarat akan interpretasi yang membawa ilmu Nahwu kepada ilmu yang solid. Bukan untuk atau mendiskreditkan penulis, tulisan yang berisi bantahan konseptual ini akan berisi pandangan yang berbeda yang lebih terkonsep berdasarkan epistemologi, sejarah, linguistik, dan sosiologi.

Terminologi “Agak laen” Bukan Pendekatan Ilmiah

Penggunaan istilah “Agak Laen” walau penulis menjelaskan lebih lanjut bahwa atribusi ini berkonotasi positif kepada pemelajar dan pembelajar Nahwu, ternyata tidak sejalan dengan pemikiran epistemologis. “Agak Laen” sebagai tolak ukur sebuah perilaku atau tindakan tidak sah karena tidak dibanguan atas dasar rasio yang tepat, koherensi logis dan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan walaupun secara hiperbolik punya makna lain. Salah satu contoh argumentasi yang tertera kurang lebih menyatakan bahwa keputusan para santri yang masih mau belajar Nahwu tanpa dipaksa oleh siapapun merupakan sebuah keanehan yang nyata. Faktanya, santri yang belajar Nahwu adalah orang-orang yang sedang berjuang untuk bisa membaca kitab kuning. Tidak ada yang aneh dengan tindakan santri, layaknya mahasiswa Sastra Inggris yang sedang mempelajari konsep semiologi yang berguna kedepannya untuk visual design semisal. Kekaguman yang berlebihan ini merupakan pandangan buram yang justru menjerat ilmu Nahwu kedalam glorifikasi mistis dalam keilmuan.

Rasionalitas Ilmu Nahwu dan Pemelajarnya

Dalam tulisan disebutkan bahwa penulis adalah individu yang rasional, dan berubah sejak berada di lingkungan pemelajar Alfiah Ibnu Malik. Ditambahkan lagi bahwa mempelajari ilmu Nahwu tidak akan mendatangkan gaji yang agaknya dijadikan tolak ukur rasional atau tidaknya sebuah ilmu bagi penulis. Selama saya membaca tulisan ini, di antara semua argumen, ini yang menurut saya paling agak laen. Jika kita tilik dalam sejarah ilmu Nahwu, salah satu pionirnya adalah Abu Al-Aswad Ad-Du’ali yang merupakan seorang politikus, ilmu Nahwu itu sangat logis memang bukan untuk mendatangkan gaji atau uang, namun karena perannya yang strategis terhadap pembacaan mushaf Al-Qur’an yang pada waktu itu masyarakat ditimpa kekeliruan bacaan hingga merubah makna asli dari Al-Qur’an. Ilmu Nahwu sebagaimana ilmu Logika dan Matematika, ia timbul atas asas olah pikir yang amat logis dan rasional secara substantif bukan sekedar senjata yang digunakan untuk menjadikan pemelajarnya bisa bernalar, mengajarkan
bahwa setiap kata punya posisi, setiap kalimat punya fungsi dan setiap struktur punya alasan. Sebagai mahasiswa Linguistik saya percaya bahwa ilmu Bahasa Arab termasuk Nahwu punya dedikasi yang signifikan terhadap perkembangan ilmu Linguistik modern. Adanya bahasan Syntax atau Morphology yang punya karakteristik yang mirip dengan Bahasa Arab juga merupakan bukti bahwa Nahwu dan Shorof adalah produk logis yang bernilai secara utuh dari sananya, bukan hanya karena saat dipelajari, maka orang akan menjadi penulis yang baik.

Antara Mencari Exposure dan Menjaga Sanad

Nalar argumentasi penulis yang tidak punya sumbu korelasi yang jelas, antara menjadi orang yang masih mau belajar Nahwu atau menjadi content creator di zaman ini sama sekali tidak relevan dan agak laen. Terlebih argumen sentimen yang mempertanyakan apa signifikansi belajar Nahwu, toh tidak menghasilkan uang. Pemikiran ini sedikit banyak justru mendukung kapitalisme modern yang memandang bahwa segala hal dan aktivitas manusia harus menghasilkan kapital atau kepuasan birahi. Tidak berhenti di situ, penulis bahkan memberi julukan hebat kepada para santri dengan “spesies langka” dan melawan arus zaman. Perlu diketahui bahwa narasi yang ada justru seakan membawa aktivitas santri dalam mempertahankan
ilmu sebagai heroisme pasif dan nostalgia belaka. Dalam tradisi Islam, saya kira jelas bahwa menjaga tradisi atau nasab keilmuan bukanlah tindakan nyentrik atau bahkan aneh, tetapi merupakan tanggung jawab intelektual sebagai penerus para ulama. Dinamikanya didirikan atas dasar ijtihad, analisis atau pembaharuan hukum sesuai dengan perkembangan zaman.

Dikotomi Ilmu Tradisional VS Ilmu Modern

Dalam tulisan tersebut secara implisit juga seolah membagi Ilmu pengetahuan menjadi dua: yang pertama ilmu tradisional yang tidak terikat dengan praktik materialisme atau kapitalisme dan yang kedua ilmu modern. Ide ini merupakan dikotomi palsu (false dichotomy) yang tidak memberi semangat produktif untuk senantiasa berjuang mengembangkan ilmu kepesantrenan agar memiliki nilai praktis yang lebih luas lagi. Di era yang serba canggih ini, kasihan sekali jika ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih dan Tasawuf harus bersaing dengan Matematika, Kedokteran, Teknik atau Politik. Santri sebagai pewaris ilmu pesantren seharusnya tidak terjebak dalam kejumudan bahwa ilmu-ilmu pesantren itu sakral dan tidak kontekstual. Walaupun sejak dibentuknya, Ilmu Nahwu tidak dimaksudkan sebagai produk pasar, santri harus bisa membawanya sebagai sesuatu yang bernilai di mata publik. Terbukti, dalam Bahasa Arab kontemporer, Ilmu Nahwu merupakan salah satu fondasi penting dalam penyusunan kurikulum, pengembangan aplikasi
digital hingga dalam tataran kerja penerjemahan (machine translation). Selain ini semua, banyak hal yang masih bisa dijadikan bahan inovasi dan kreatif agar Nahwu punya value yang praktis dan tidak stagnan dan menimbulkan asumsi yang “agak laen” bagi pembelajar dan pemelajarnya atau orang lain.

Penutup: Letakkanlah Nahwu dalam Konteks Intelektual, Bukan Emosional

Tulisan yang berjudul Ulama Nahwu itu “Agak Laen” memang sangat jelas menunjukkan kekaguman penulis terhadap keilmuan Islam serta para pelaku yang ada di dalamnya. Sayangnya, alih-alih menjadikannya batu loncatan indah akan pembaharuan intelektual, tulisan tersebut justru terperangkap dalam glorifikasi emosional yang anti produktif. Sudah saatnya santri berpaling dari pandangan ilmu pesantren sebagai eksotisme romantik. Hargailah semua ilmu atas dasar intelektual, kejernihan berfikir serta sumbangsihnya terhadap peradaban dunia.

Akhir kata, mohon maaf apabila ada salah, tidak menerima kritik lisan, jika tidak terima silahkan kritik dengan tulisan yang lainnya. Peace!!!!!

Penulis : Sohi | Editor : Hamba Baik