Pict: Kitab Karya KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim (Koleksi Penulis)
Di suatu malam yang dingin di pondok, aku membuka kembali lembaran kitab Ta‘līm al-Muta‘allim. Di sela-sela huruf gundul yang mulai akrab, aku menemukan satu kalimat yang membuatku berhenti: “La yanalul-‘ilma birāhatil-jism” ilmu tidak bisa diperoleh dengan tubuh yang bersantai. Tapi entah kenapa malam itu aku justru terdiam bukan karena rasa lelah, tapi karena pertanyaan yang muncul diam-diam: “Ilmu yang dicari ini, arahnya ke mana?”
Sejak kecil, kita diajari bahwa menuntut ilmu itu mulia. Tapi jarang yang mengajak kita berpikir bahwa ilmu itu tidak pernah benar-benar netral. Ia bukan benda mati. Ia punya arah. Ia bisa membimbing, tapi juga bisa membutakan. Lalu, kita yang sedang menuntutnya—ke mana akan membawanya?
Aku pernah ikut proyek riset sederhana tentang senyawa kimia untuk pengobatan kanker. Awalnya, aku merasa ini hal yang hebat, sains murni, tidak ada urusan dengan niat atau moralitas. Tapi setelah membaca jurnal yang membahas bagaimana industri obat bisa mengejar profit lebih dari kemanusiaan, aku tertegun. Di situ aku sadar: ilmu bisa jadi alat penyembuh, bisa juga jadi alat dagang. Bukan ilmunya yang salah. Tapi siapa yang pakai, dan untuk apa.
Imam Ibnul Qayyim dalam al-Fawā’id menulis, “Ilmu tanpa amal adalah hujjah atas pemiliknya,” artinya, makin banyak kita tahu, makin berat pula tanggung jawab yang kita bawa. Ilmu yang tidak membawa manfaat, justru akan menjadi boomerang di akhirat. Maka, belajar bukan sekadar soal “tahu banyak”, tapi soal “apa yang kau lakukan setelah tahu”.
Di pondok, kita belajar banyak: fikih, tafsir, nahwu, balaghah, ushul fiqh. Tapi ada satu hal yang sering luput: merenung. Kita terlalu sibuk menghafal sampai lupa bertanya. Pernah aku iseng bertanya ke seorang guru, “Kenapa harus belajar ini semua?” Beliau hanya tersenyum lalu berkata, “Karena santri tidak hanya dituntut untuk tahu, tapi untuk mengerti. Dan mengerti itu butuh pemikiran.”
Pemikiran bukan berarti melawan. Justru dengan berpikir, kita menunjukkan tanggung jawab sebagai penuntut ilmu. Sebab ilmu itu ibarat pisau—di tangan koki bisa menghasilkan masakan nikmat, tapi di tangan yang salah bisa membunuh. Maka ilmu yang kita cari pun harus dibarengi kesadaran: ingin digunakan untuk apa?
KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim menulis bahwa orang yang belajar wajib menjauhkan diri dari riya’, ujub, dan niat untuk menundukkan orang lain. Memang berat, tapi justru itulah inti ilmu: membuat kita sadar akan batas diri, bukan malah merasa lebih tinggi.
Kini aku mengerti bahwa belajar bukan soal cepat hafal, bukan pula soal menang berdebat. Tapi belajar adalah proses menyadari. Menyadari bahwa dunia ini luas, rumit, dan penuh hikmah sedangkan kita? Kita ini kecil, rapuh, dan sedang dititipi amanah besar bernama ilmu.
Ilmu bukan semata pencapaian intelektual. Ia adalah jalan panjang menuju kebijaksanaan. Maka pertanyaannya bukan lagi: “Apa yang sudah kau pelajari?” tapi: “Apa yang telah kau pahami, dan ke mana pemahaman itu membawamu?”
Pada akhirnya, mungkin tugas santri bukan menjadi yang paling tahu, tapi menjadi yang paling sadar. Bahwa ilmu ini bukan milik kita. Ia adalah titipan yang kelak dimintai pertanggungjawaban.
Writer: Siti Khoirunnisa | Editor: Ahyana Etika Muliani
😍☺️
😍🙏