Srikandhi Menjemput Rembulan 

Sumber : Freepik.com

(Karya ini merupakan finalis Lomba Menulis YKD 2025 yang diselenggarakan dalam rangka menyambut HUT ke-80 Republik Indonesia)


Tahun 2157. Manusia tak lagi mengenal kesengsaraan. Teknologi telah menguasai hampir seluruh aspek kehidupan, menyajikan kenyamanan semu yang melalaikan. Langit malam di tahun ini tak lagi gulita, tak seperti dulu. Bintang-bintang palsu bertebaran di layar kubah raksasa yang menutupi kota. Teknologi menyalin bintang, namun ia tak sanggup menghadirkan rasa takjub yang dulu singgah ketika manusia memandang langit sejati ciptaan Tuhan.

Di bawah kubah artifisial itu, umat manusia tak lagi mengenal semesta yang sejati. Siang dan malam penuh semu yang mereka nikmati. Lintang dan rembulan tak lain hanyalah sekadar proyeksi digital. Manusia merasa nyaman dalam ilusi; tak banyak, atau bahkan hampir tak ada yang mempertanyakan tentang sebuah kebenaran. 

Serupa kunang-kunang di rimba malam, Pesantren Nurul Ummah lil Banat hadir menjadi pelita di tengah kegilaan dunia. Berdiri sebagai benteng pertahanan Islam, menjadi satu-satunya pesantren yang masih setia mempertahankan tradisi mengaji kitab kuning di tengah gempuran arus dunia yang serba hologram. 

Srikandhi Aruni Kala, santri putri pemilik mata indah nan tajam yang lekat dengan jilbab panjangnya. Sosoknya lembut, namun penuh wibawa. Sesuai dengan namanya, ia menjadi santri dengan sejuta harapan, menggendong sejuta prestasi yang membanggakan. 

Suatu malam selepas kajian, Srikandhi enggan untuk langsung kembali ke bilik kamarnya. Dirinya memilih duduk di teras pendopo, memandangi langit palsu buatan manusia itu, mengabaikan angin malam yang terasa begitu dingin. 

“Langit, kau begitu indah. Namun, aku seakan tak dapat benar-benar menikmatimu,” gumamnya. 

Begitu lama ia pandangi langit itu, hingga petuah Kiai Sulaiman saat kajian tadi terngiang kembali, memecah lamunannya. Kiai berpesan: 

“Merdeka sesungguhnya bukan berarti bebas tanpa batas. Merdeka sejati adalah ketika pikiran sudah terlepas dari kebohongan, dan perbuatan benar-benar terikat pada kebenaran.” 

Srikandhi termenung. Ia begitu kenal dengan dirinya. Srikandhi tahu pikirannya belum merdeka sepenuhnya karena ia masih berada di bawah bayang-bayang rasa percaya pada bulan buatan yang dipasang di kubah kota.

“Duarrrr…!!! Hahahaha… Hahaha.” Seseorang tertawa begitu lepas, puas melihat korbannya terjingkrak kaget. 

Namun berbeda dengan pelaku, si korban justru tetap larut dalam lamunannya. Ya, Srikandhi sebagai korban yang dimaksud masih setia melanjutkan pandangannya ke langit, walau rasa kaget tadi jelas memenuhi wajahnya.

Seperti biasa, Srikandhi tak heran lagi. Sahabatnya pasti hobi sekali membuat jantung temannya berdetak lebih cepat. Muna—Srikandhi memanggilnya “Moon” (bulan)—karena wajahnya selalu bercahaya walau lampu padam sekalipun. 

Malas meladeni tingkah usil sahabatnya, Srikandhi lebih peduli dengan kondisi hatinya. Hati Srikandhi sedang tidak baik-baik saja selepas memandangi langit imitasi itu dan ketika pikirannya begitu saja teringat dengan petuah Kiai Sulaiman. Kini, ia benar-benar terguncang dengan kata “kebohongan”. 

“Moon, apa kau pernah merasa janggal atau tak nyaman?” tanya Srikandhi. “Kenapa, Srikandhi? Umat kita bahkan sudah sejak lama sekali tak mengenal istilah itu.” Moon menimpali, menyadari bahwa di tahun 2157 ini bahkan tak ada satu pun orang merasa sengsara hidupnya. 

“Moon, kuyakin kau pasti merasakannya. Tapi… mungkin kau tak tahu cara mengungkapkannya, atau bahkan kau… sudah tak peduli lagi.” 

Moon diam, namun ekspresinya tak dapat berbohong. Kedua alisnya tertaut sempurna bagaikan semut beriringan—menjadi isyarat bahwa sepenuhnya dirinya memang tidak paham dengan arah pembicaraan Srikandhi. 

“Moon, apa kamu nggak pengin lihat bulan asli yang Allah ciptakan?” tanya Srikandhi sungguh-sungguh.

Moon tersenyum tulus, mulai memahami arah pembicaraan. “Kau tahu, Sri… rasa inginku bahkan melebihi seratus kali lipat dibanding kamu,” jawab Moon dengan ekspresi berlebihannya yang menyebalkan.
“Tapi, lebih dari itu Sri, aku ingin hatiku merdeka dari kebohongan. Kalau kita melihat ciptaan Allah secara langsung, mungkin kita akan lebih bebas dalam berpikir.”

Ucapan Moon tak lenyap sia-sia di udara. Kata-kata itu menjadi pemantik semangat dalam dada Srikandhi. Ia sadar, merdeka dalam pikiran berarti berani mencari kebenaran meski harus 

melawan arus yang ada. Dan merdeka dalam perbuatan berarti berani melangkah untuk meraihnya. 

Dua insan dengan tekad dan rasa keingintahuan tinggi bersatu dalam satu ikatan yang begitu kuat. Keduanya menciptakan energi yang begitu positif. Mereka saling memandang dan tersenyum. Malam itu, mereka sepakat membuat sebuah rencana gila—menembus batas kubah yang dilarang, mencari langit sejati, dan menjemput rembulan yang selama ini disembunyikan dari pandangan manusia. 

Pagi harinya, mereka memulai aksi. Dimulai dari perpustakaan pesantren—perpustakaan kecil di pojok lantai dua asrama bernama An-Nabil—yang sunyi dan jarang pengunjung. Di sana tersimpan rapi kitab-kitab kuno dan peta dunia sebelum kubah dibangun. Peta itu menunjukkan adanya celah rahasia di sisi timur kota—sebuah terowongan kecil yang berada di arah mentari terbit. 

“Ini jalannya, Sri,” bisik Moon, menunjuk garis tipis di peta. 

“Tapi di luar kubah ada drone patroli dan sensor intrusi. Kalau ketahuan, kita bisa terpapar radiasi elektromagnetik dan dihapus dari sistem penduduk,” timpal Srikandhi.

“Kalau itu harga yang harus dibayar untuk melihat ciptaan Allah, aku siap,” jawab Moon mantap.

Dengan hati mantap, mereka mengumpulkan perbekalan: makanan ringan, air dalam botol kaca (agar tak terdeteksi sensor plastik), kompas dan peta kuno, serta mushaf kecil pemberian Kiai Sulaiman.

Karena terowongan berada di arah timur—arah terbitnya matahari—mereka memilih malam sebagai waktu keberangkatan. Mereka menyelinap melewati atap dapur pesantren, menuruni tali menuju gang-gang sempit dan licin, lalu menelusup ke pintu besi kecil berkarat yang terkunci sensor. Aksi mereka benar-benar lincah bak penjahat kelas kakap yang menyelinap mencuri data penting negara.

Srikandhi yang mahir teknologi memanfaatkan chip usang dari jam tangan tua peninggalan kakeknya untuk membajak kunci magnetik. Mereka berhasil masuk terowongan. Di dalamnya, udara lembap bercampur aroma besi karat. Suara gemuruh mesin di atas kepala terdengar seperti napas raksasa, begitu bising dan memekakkan telinga.

Di tengah perjalanan, sebuah drone pengawas melintas untuk berpatroli. Mereka menahan napas di balik tumpukan pipa. Hati mereka dipenuhi zikir dan salawat. Lisan mereka pun tak henti-hentinya merapal doa perlindungan yang Kiai Sulaiman ajarkan: 

اللّٰهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ الْبَلاَءِ وَدَرْكِ الشَّقَاءِ وَسُوْءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ

Akhirnya, mereka sampai di gerbang terakhir kubah—dinding baja setebal satu meter. Srikandhi menemukan panel manual tersembunyi. Dengan tangan gemetar dan peluh di dahi, ia memutar tuas darurat yang mungkin sudah puluhan tahun tak pernah digunakan. 

Suara berderit menggema… dan pintu itu perlahan terbuka. 

Begitu menginjakkan kaki keluar, dingin malam yang asli membelai lembut tubuh semampai Srikandhi dan Moon. Angin berhembus tenang membawa aroma tanah basah yang pekat. Di langit, binar mata keduanya memandangi bintang-bintang yang bertebaran—jutaan cahaya yang tak pernah mereka lihat di bawah kubah. 

Lalu… jauh di sana, tepatnya berada di tengah samudra langit hitam, rembulan bulat menggantung indah, kilaunya memancarkan cahaya lembut yang tak mungkin mampu ditiru teknologi. 

Srikandhi begitu takjub, ia terisak. “Moon… ini dia. Inilah cahaya yang Allah letakkan sejak awal, bukan proyeksi, bukan juga ilusi.” 

Moon menatapnya dengan mata basah. Sama seperti Srikandhi, ia juga begitu takjub, hatinya dipenuhi dengan kuasa Allah. “Sekarang aku paham, Sri, merdeka bukan hanya keluar dari kubah besi, tapi juga keluar dari kubah kebodohan dalam hati.” 

Mereka duduk di bawah rembulan itu, membuka mushaf kecil pemberian Kiai Sulaiman, kemudian mulai membaca ayat-ayat tentang tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan bumi. Malam itu, mereka menjemput rembulan bukan dengan tangan, tapi dengan hati yang kini penuh cahaya kebenaran. 

Keesokan harinya, mereka kembali ke pesantren. Kiai Sulaiman tak menegur, hanya tersenyum mengetahui cahaya berbeda di mata dua santrinya. 

Sejak saat itu, setiap perayaan kemerdekaan, tanggal 17 Agustus, Srikandhi bercerita pada adik-adiknya:

“Merdeka itu bukan hanya urusan bangsa, Dek, tapi urusan jiwa. Karena jiwa yang terikat pada kebohongan, tak akan pernah benar-benar merdeka. Dan jiwa yang bebas, hanya bebas jika terikat pada kebenaran Ilahi.”

Moon yang masih setia bersahabat dengan Srikandhi tersenyum lembut. Ia tahu betul kata-kata itu lahir dari perjalanan mereka menjemput rembulan. 

Kini, setiap hari raya kemerdekaan, hembusan angin lembut mengibarkan Sang Merah Putih. Di langit asli yang kini terlihat tanpa proyeksi, rembulan siang samar-samar masih menggantung, seakan menjadi saksi bahwa kemerdekaan sejati telah mereka raih—dan akan mereka jaga selamanya.

Penulis: Faidlul Barokah | Editor: Khoirunnisa’