SEKALI LAGI

Sumber: Generate AI

Trigger Warning: Cerpen ini mengandung tema kesehatan mental, termasuk kecemasan dan perasaan tertekan secara emosional. Pembaca dengan sensitivitas terhadap isu tersebut disarankan untuk mempertimbangkan kondisi pribadi sebelum melanjutkan membaca.

Rumah sakit sangat padat pengunjung. Orang-orang yang merasakan tubuhnya tidak sebugar biasanya, berbondong-bondong mendatangi poli masing-masing. Beberapa diantar oleh keluarga atau kerabat, beberapa yang lainnya datang seorang diri. Pasien yang sudah menginap di sana juga terlihat saling bersinggungan, berpindah dari satu ruang inap ke ruang inap yang lain. Di sudut ruangan, mushola terlihat ramai dengan harap penuh. Benar ternyata, rumah sakit adalah tempat dipanjatkannya doa paling tulus.

Salah satu poli di pojok lantai satu ramai pengunjung. Setelah ditanya, ternyata banyak yang datang untuk meminta surat bebas narkoba sebagai syarat pendaftaran CPNS tahap selanjutnya. Tidak berselang lama, nomor antrian dan namaku dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan. “14, Raline Wijaya”. Nama yang tidak terlalu islami memang untuk aku yang terlahir dari lingkungan pesantren.

Jari-jari tangan kananku membuka pintu dengan hati-hati.

“Selamat Pagi, Raline silahkan duduk”, sapa perempuan berkulit putih dengan tulisan dr. Joshelline di bajunya. Ia sangat ramah, masih sama seperti pertemuan-pertemuan kami sebelumnya.

Ruangan ini masih tetap menggunakan aroma teh yang segar. Baunya masuk ke hidung dengan sopan, membuat siapapun yang masuk ke ruangan ini merasa tenang. Tidak ada suara apapun yang terdengar kecuali suara kami berdua. Sambil menunggu dr. Josh merangkum perkembangan kesehatan, aku mulai mengatur pernafasan tiga sampai lima kali percobaan sampai akhirnya tidak terlalu gugup untuk membuka percakapan.

“Kau tampak bahagia, Raline. Apakah prasangkaku ini benar?”, ia mulai bertanya kabar.

“Benar, dokter. Aku cukup bahagia hari ini. Meskipun tadi saat berjalan menuju ruangan ini, aku sedikit kaget karena banyak pasien anda yang menunggu untuk diurai benang kusut di kepalanya. Dan mereka kebanyakan laki-laki”

“Ya begitulah, Raline. Sakit apapun tidak mengenal jenis kelamin penderitanya, bukan?”

Aku mengangguk pelan dan setuju dengan pernyataan yang ia sampaikan.

“Obat yang kuberi kemarin cukup membantumu untuk bisa tidur dengan tenang, Raline”, ia bertanya dengan cemas.

“Bukan hanya cukup, bahkan sangat membantu., Dokter. Aku sempat curiga dosisnya meningkat dari bulan sebelumnya.”

“Kau salah, Raline. Masih dengan resep yang sama. Alprazolam 1 mg, aripiprazole 10 mg, ditambah sertraline 50 mg.”, jelasnya dengan sabar.

Awalnya aku cemas tapi akhirnya aku memberanikan diri, “Aku ingin membawa satu kabar baik dan satu kabar kurang menyenangkan, Dokter.”

“Kabar apa, Raline?”, ia terlihat sangat penasaran dan bersemangat menatapku.

“Aku ingin memulainya dari kabar baik terlebih dahulu. Kabar baiknya, aku sudah berani berkata tidak, Dokter. Kepada siapapun jika memang tidak sesuai denganku. Tapi aku memberi penawaran lain karena aku masih takut jika penolakanku ternyata mengecewakan, Dokter.”. Aku bisa memastikan bahwa mataku berbinar ketika mengatakan hal ini di depannya sekarang.

“Perkembanganmu sangat pesat, Raline. Sekarang kau sudah berani menceritakannya dengan lantang, pertanda kau benar-benar yakin dengan keputusanmu”, jawaban yang sangat santun.

“Terima kasih banyak, Dokter. Aku juga masih terus belajar untuk itu. Aku sekarang punya teman. Kami bertemu dua kali di awal tahun kemarin.”

“Apakah dia sangat berpengaruh padamu akhir-akhir ini, Raline? Sepertinya kau tampak sangat antusias memperkenalkannya”. Dr. Josh mulai curiga.

“Tepat sekali, Dokter. Dia yang merekomendasikan padaku untuk menemuimu pertama kali.”

“Sungguh? Akhirnya aku mendengarnya juga setelah beberapa kali kita bertemu tapi kau tetap bersikukuh untuk menyembunyikan hal ini”. Aku hanya tersenyum karena bingung harus menanggapi dengan kalimat apa.

“Apakah dia laki-laki, Raline? Jika tebakanku benar, kau boleh mempertimbangkannya untuk menemani perjalananmu ke depan.”. Dan tepat sekali, sepertinya Dr. Josh memiliki kemampuan lebih di bidang membaca pikiran.

“Belum dulu, Dokter. Aku masih takut dengan makhluk Tuhan yang bernama laki-laki. Lagi pula, aku lebih nyaman jika kami berteman. Ternyata kami orang gila yang sama-sama depresi dan punya gangguan kecemasan, hanya beda penyebab saja.”. Selanjutnya, aku tertawa tapi anehnya mataku justru berair dan pipiku sedikit basah.

“Bukan gila, Raline. Jangan mempercayai perkataan orang-orang kemarin. Kalian tidak gila, kalian hanya sakit saja. Sama seperti sakit panas atau patah tulang, sama-sama harus berobat dan ingin sembuh, bukan? Aku yakin kau masih mengingat perkataanku ini karena selalu kuulang setiap kita bertemu.”

“Maksudku tadi begitu, Dokter. Maafkan aku.”, jawabku santai sambil menyeka butir air di ujung mata supaya tidak tertangkap olehnya.

“Tidak masalah, Raline. Mari kita lanjutkan”, ucapnya seperti masih penasaran.

“Aku merasa menjadi lebih cerewet di hadapanmu, Dokter. Baiklah akan kulanjutkan. Aku sudah mulai bergerak meskipun hanya berjalan kaki 30 menit setiap hari. Aku juga mencoba untuk makan pepaya meskipun baunya sangat menyengat. Aku juga menulis sebelum tidur meskipun tulisanku hanya berisi hal-hal yang bisa aku syukuri hari ini”. 

“Aku kagum dengan keberanianmu, Raline. Aku tidak menyangka jika kau akan mencoba semua saranku. Lanjutkan prosesmu, Raline. Tapi kalau kau merasa tidak nyaman, istirahatlah dan jangan memaksakan diri.”. Aku yakin, Dr. Josh selalu berhasil membuat pasiennya terharu mendengar tutur katanya.

“Aku mengerti, Dokter. Sebenarnya aku masih ragu untuk mengatakannya. Tapi sepertinya kau adalah orang pertama yang harus mendengar ini, Dokter. Ini akan menjadi hari terakhirku berkunjung. Itulah kabar buruknya”. Aku sedikit merasa cemas dengan reaksinya setelah mendengar ucapanku.

“Hei, itu bukan kabar buruk, Raline. Justru ini adalah hal besar. Kalau boleh aku tahu, apa yang membuatmu berpikir untuk berhenti?”

“Aku tidak berniat untuk berhenti, Dokter. Aku ingin melepaskan pegangan. Sepertinya aku mulai kecanduan konsultasi dengan Dr. Joshelline setiap akhir bulan. Aku ingin berjuang dengan tangan dan kakiku sendiri, tentu berbekal semua hal yang Dr. Josh berikan untukku selama ini.”

“Berhentilah menjelaskan kalau memang masih berat untuk mengatakannya, Raline. Aku tidak memaksamu untuk terus berbicara.”

“Kali ini aku yakin, Dokter. Tidak seperti keraguanku di pertemuan kita yang lalu. Aku memang masih belum bisa memaafkan apa yang Bapak lakukan ke Ibu sejak aku kecil. Tapi aku teringat kata-katamu tiga bulan lalu”

“Kata-kataku bagian yang mana kalau boleh kutahu, Raline?”

“Bapak dan Ibu masih pertama kali menjadi orang tua saat melahirkanku. Sama seperti aku yang pertama kali menjadi manusia saat dilahirkan. Kalau bapak atau ibuku melakukan kesalahan, berarti aku juga pasti pernah dan akan melakukan kesalahan meskipun bentuk kesalahan kami berbeda. Aku ingin memberikan pengampunan untuk bapakku, ibuku, dan untukku sendiri, Dokter”

“Sebentar, Raline. Kau sudah berpikir sampai di titik ini?”, ia bertanya dengan penuh pengharapan.

“Sejujurnya aku lelah, Dokter. Membawa perasaan benci ini ke mana-mana seumur hidupku. Aku ingin melepaskan perasaan itu dan ingin memaafkannya. Siapa tahu, kemarahanku yang sebenarnya mengikat dan menyakitiku sendiri. Boleh aku melakukannya, Dokter”

“Mengapa tidak, Raline? Keputusan besarmu ini akan membawamu ke kehidupan Raline Wijaya yang baru.”

“Tapi aku masih belum berani untuk mengungkapkan semuanya, Dokter. Ketakutanku masih banyak. Mungkin aku akan merasa lega jika sudah mengatakan padanya. Tapi di sisi lain, aku takut jika pengakuanku justru akan membuatnya berpikir ke mana-mana dan jatuh sakit lagi. Meski aku membencinya, ternyata aku masih takut kehilangannya. Kalau bapakku tidak ada, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan kami nanti. Ibu dan aku pasti harus menjadi tameng dan garda terdepan pesantren menggantikan bapak. Kau tahu maksudku, Dokter”

“Aku mengerti, Raline. Itu bukan posisi yang mudah, tapi aku yakin suatu saat nanti kau pasti akan menjadi hebat dengan caramu sendiri untuk menggantikan bapak.”

“Kalau aku punya mimpi yang bertolak belakang dengan harapan mereka, apakah aku termasuk anak durhaka, Dokter?”

Kami terdiam beberapa saat setelah aku bertanya. Tidak biasanya Dr. Josh seperti ini. Sepertinya, ia sedang menyusun kata-kata agar tidak membuatku menangis setelah mendengar penjelasannya. “Anak durhaka di mata setiap orang berbeda-beda, Raline. Durhaka tidak sesederhana itu. Kau masih suka menulis atau sibuk dengan sketsamu, Raline?”

“Tentu saja masih, Dokter. Aku masih ingin menjadi penulis sambil menggambar sketsa yang aku suka. Akhir tahun 2024 kemarin, aku mencetak buku pertamaku dan dua buku selanjutnya akan terbit bulan depan. Tapi masih berbentuk antologi, belum setulisanku sendiri.”. Aku menjawab dengan semangat sampai tidak terasa posisi dudukku semakin maju.

“Wah, pasti tulisan-tulisanmu sangat keren, Raline. Gambar sketsamu juga sangat indah. Setelah kupikir ulang, sepertinya kau perlu mencoba mengatakan mimpi-mimpi hebatmu itu ke orang tuamu. Siapa tahu, mereka setuju. Dan mungkin saja selama ini mereka masih menuntutmu karena mereka belum tahu mimpi-mimpimu. Ah, mereka hanya belum mengenali Raline Wijaya usia 25.”, Dr. Josh mengatakannya sambil menepuk pundakku untuk meyakinkan.

“Aku tidak yakin tapi akan kupertimbangkan lagi saran yang satu ini”

“Kau masih melakukan kebiasaan memegang pisau malam hari dan berpikir untuk memotong nadimu?”. Pertanyaan yang akhirnya muncul, terlihat dari sorot matanya bahwa ia khawatir aku akan melakukan kesalahan yang sama di Bulan September lalu.

“Sudah tidak lagi, Dokter. Ternyata aku masih ingin hidup dan aku sudah tidak tidur jam tiga pagi lagi sekarang.”, jawabku sambil tersenyum. Semoga kekhawatirannya mereda.

“Lega sekali mendengarnya. Kau masih mengajar dan tinggal di pesantren, Raline?”

“Masih, Dokter. Ternyata aku banyak belajar dari sana meskipun kegiatannya sangat padat dan masih memusingkan kepala kalau dipikirkan. Tapi tidak masalah, masih bisa kuatasi sejauh ini”, aku berusaha meyakinkannya. 

“Jujur, aku sudah lama tidak mendapat pasien sepertimu, Raline.”

“Berarti aku pasien langka, Dokter. Pergi ke Psikolog atau Psikiater di lingkungan pesantren tempat aku dilahirkan adalah sesuatu yang asing, terutama di desa. Kami diajarkan untuk menenangkan diri dengan berzikir. Tapi sepertinya hal itu belum manjur aku praktikkan. Aku sering sekali mendapat nasihat untuk banyak berdoa dan mengingat Allah setiap bercerita ke saudara. Sampai aku pernah di titik sangat bingung karena selama ini aku sudah berdoa tapi doaku kurang bagaimana? Atau aku kurang bersyukur di sebelah mana?, kok sepertinya gampang sekali mereka menyimpulkan kalau aku seperti ini sekarang karena kurang beribadah dan kurang bersyukur.”. Tanganku mulai berkeringat dan kecemasanku mulai muncul saat menceritakan bagian ini.

“Aku tidak menyalahkanmu karena apa yang kau pikirkan, Raline. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan lingkunganmu karena mungkin pernyataan mereka ada benarnya. Kau juga tidak bisa memaksa mereka untuk bisa memahami isi pikiranmu, Raline. Mereka hanya menyampaikan sejauh pengetahuan mereka. Itu saja. Jadi, tidak ada benar salah dalam kasus ini.” Dan ia sekali lagi tidak menghakimi siapapun dalam setiap jawabannya. Psikiater yang sangat memegang janji dan sumpah profesinya.

“Aku mengerti sekarang, Dokter.”

”Boleh aku berpesan satu hal sebelum sesi ini berakhir, Raline?”. Dr. Josh mulai sedikit serius menatapku, terlihat dari garis wajahnya yang semakin nyata. 

“Tentu saja, Dokter.”, jawabku dengan menganggukkan kepala.

“Jangan sungkan-sungkan untuk menghubungiku kalau kamu merasa lelah atau keinginan self harm itu kembali lewat di pikiranmu, Raline. Kalau kamu sudah tidak terkendali, nomorku masih aktif dan sangat dengan senang hati menyambutmu.”. Bahkan ketika aku memutuskan hal ini secara sepihak, ia masih begitu baik. Jika sesuai prosedur, hanya Psikiater yang berhak menentukan kapan pasien diperkenankan untuk berhenti mengonsumsi obat. Psikiater harus melihat terlebih dahulu sejauh mana perkembangan emosi pasiennya. Ketika emosi sudah bisa terkontrol, dosis obat akan semakin diturunkan untuk selanjutnya dinyatakan lulus dan bebas obat.

“Ah, tanpa diminta pun, aku akan melakukannya, Dokter. Boleh aku minta dipeluk sebelum aku keluar?”. Aku berdiri dan ia langsung menyambutku dalam pelukannya. Pelukan hangat itu berlangsung cukup lama, sampai aku melepaskannya.

“Hiduplah dengan baik dan bahagia, Raline Wijaya. Aku bangga padamu. Terima kasih sudah mempercayaiku dan sudah bersedia untuk hidup sekali lagi.”

“Dokter, ada satu yang tertinggal. Bapak Ibuku sekarang mengurus lagi pesantren yang mereka bangun dulu, meskipun mereka tetap memutuskan untuk berpisah. Aku terpilih menjadi salah satu orang yang akan dikirim ke Bandung untuk belajar beberapa hal tentang menulis & memperhalus sketsaku di sana. Aku juga sudah bergabung dengan komunitas penyintas gangguan jiwa. Semoga aku bisa belajar banyak sampai akhirnya aku siap untuk pulang ke rumah, Dokter.”

“Kau pasti akan menjadi wanita yang semakin hebat setelah ini, Raline. Siapapun orang yang sudah meremehkanmu pasti akan menyesal. Wanita di hadapanku sekarang sudah semakin tangguh untuk membuktikan bahwa terlahir dari rahim pesantren tidak hanya sibuk dengan kitab-kitab klasik, tetapi juga peduli dengan kesehatan mental. Aku berharap, akan lebih banyak lagi orang yang peduli dengan kesehatan jiwanya supaya semakin ke sini jumlah nyawa yang melayang sia-sia semakin berkurang, terutama dari lingkunganmu.”, Dr. Josh menatapku sekali lagi dengan mata berkaca-kaca.

“Semoga segala doa baik dan kebaikan-kebaikan itu kembali pada Dokter dalam bentuk yang paling menenangkan”

Dr. Josh tersenyum sambil memberikan selembar kertas padaku, “Ini sedikit oleh-oleh untuk ditebus di apotek. Masih dengan dosis yang sama, sebanyak 30 butir terakhir. Namun kali ini hanya diminum kalau sedang relaps saja, tidak perlu diminum setiap malam seperti satu tahun terakhir, Raline.”

Akhirnya sore itu, Raline Wijaya menutup ruangan dengan tulisan Dr. Joshelline Dokter Jiwa itu menuju pesantren dengan perasaan lega. Dengan membawa satu kantong obat untuk berjaga-jaga sekaligus membawa harapan baru untuk keputusan-keputusan di hidupnya. 

Penulis : Milna Maulal Husna | Editor : Deré