@nanik.rhma.(2024). Santri sedang membaca buku. Instagram post. Diakses Minggu, 1 Juni 2025 .https://www.instagram.com/p/C2cJNVcPARz/?img_index=1&igsh=bnd0aXY4cm82Ymls
Nupipress – Menjadi santri hari ini bukan hanya tentang duduk bersarung di koridor lantai dua masjid atau kemana – mana membawa kitab kuning. Di tengah zaman hiruk dan riuh oleh distraksi digital, menjadi santri adalah perjuangan sunyi. Menjaga hati agar tetap hidup dalam ilmu dan menjaga waktu agar tak hanyut dalam kesia-siaan. Di antara gempuran notifikasi, jadwal yang padat, dan rasa ingin tahu yang melompat-lompat, kita perlu kembali belajar dari para ulama terdahulu, seperti imam syafi’i dan imam bukhori. Pasalnya beliau-beliau menjadikan diamnya sebagai bahasa kekuatan dan waktu sebagai amanah yang suci.
Masih ingat dengan jelas saat aku membaca Manaqib al-Imam al-Syafi’i — karya Imam al-Baihaqi. Dalam catatannya beliau bercerita, Imam Syafi’i sejak kecil telah menunjukkan kecintaan pada ilmu. Di usia tujuh tahun ia sudah menghafal Al-Qur’an dan usia sepuluh tahun hafal kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Selain itu, dalam perjalanan dalam menuntut ilmu, beliau menuliskan faidah-faidah ilmiah di pelepah kurma, tulang, atau batu karena tak mampu membeli kertas. Baginya setiap detik adalah bahan bakar ilmu.
Begitu pula dengan Imam Bukhari yang tak kalah luar biasa. Sejak kecil ia telah kehilangan penglihatannya, namun ibunya terus berdoa hingga matanya sembuh. Di usia 16 tahun, ia sudah menulis kitab tentang biografi perawi hadits. Dalam hidupnya, ia telah bepergian lebih dari enam negara untuk menuntut ilmu dan melakukan penelitian lebih dari 600.000 hadits, hanya memilih 7.000-an hadits shahih dalam kitab Shahih al-Bukhari. Ketelitiannya, kedisiplinannya dalam menghafal dan menulis adalah buah dari hidup yang tak membiarkan waktu kosong begitu saja.
“Al-waqtu ka al-sayf,” kata pepatah dari Imam syafii. Waktu itu ibarat pedang. Jika engkau tidak menggunakannya untuk menebas kebodohan, ia akan menebasmu dengan penyesalan. Ini bukan sekadar peribahasa. Ini adalah filosofi hidup. Para ulama terdahulu hidup dalam kesadaran penuh bahwa setiap detik adalah titipan yang akan ditanya kelak. Maka, mereka menjauhi senda gurau yang tak perlu, menolak perdebatan yang tak berujung, dan memelihara keheningan sebagai ladang perenungan.
Diam bagi mereka bukan kehampaan, melainkan bentuk tertinggi dari kesiapan menampung ilmu. Karena ilmu, seperti hujan yang lembut, tidak akan turun pada tanah yang riuh dan bergemuruh. Mereka membersihkan ruang batin dengan ketenangan, mengosongkan diri dari kebisingan dunia. Agar mampu menangkap makna dari setiap bait yang dibaca, setiap nasihat yang dilontarkan guru, dan dari setiap detik yang mereka lalui dalam diam dan tadabburnya.
Santri hari ini sering kali merasa sibuk, padahal hatinya kosong. Banyak yang pandai mencatat, tetapi miskin merenung. Banyak yang hafal definisi, tapi kehilangan makna. Seringkali kita terjebak dalam kesibukan semu. Membuka banyak bab ilmu, tapi tak menyelami satupun secara mendalam. Kita membaca banyak, tapi tak sempat diam untuk mencerna. Kita aktif berdiskusi, tapi kehilangan hening untuk mendengar dan membaca. Sungguh, betapa banyak ilmu yang hilang bukan karena malas belajar, tapi karena tak mampu diam.
Di tengah era digital yang membanjiri kita dengan informasi setiap detik, kita butuh kembali pada hikmah diam. Ulama besar Imam Syafi’i berkata, “Jika seseorang ingin berkata, maka hendaknya ia berpikir: apakah ucapannya akan menjadi kebaikan? Jika tidak, diam adalah lebih selamat.” Ini bukan sekadar adab berbicara, tetapi juga metode menuntut ilmu, menunda komentar, menahan reaksi, memperdalam pemahaman. Karena ilmu bukan hanya soal isi kepala, tapi soal kesiapan jiwa untuk tunduk dan terdidik.
Maka, menjadi santri hari ini bukan berarti harus menutup diri dari zaman. Tetapi justru hadir dalam zaman dengan kesadaran yang lebih tinggi. Kita tidak sedang bersaing dengan teknologi, tapi belajar mengendalikannya. Kita tidak menolak sibuk, tapi mengisinya dengan yang bermakna. Kita tidak takut ramai, tapi tahu kapan harus diam. Karena hanya dengan diam, kita benar-benar mendengar. Dan hanya dengan mendengar dengan baik, kita mampu memahami, menata diri, dan akhirnya menebar manfaat bagi umat.
Para ulama dahulu tidak meninggalkan warisan karena mereka hidup panjang. Banyak dari mereka wafat muda. Misalnya Imam Nawawi wafat di usia 45 tahun, namun hingga kini karyanya seperti Riyadhus Shalihin dan Al-Arba’in An-Nawawiyyah masih menjadi santapan ruhani dan rujukan akhlak di seluruh dunia Islam. Seluruh waktunya ia habiskan untuk ilmu. Bahkan ada yang lebih muda darinya, seperti Imam Ibnu Majah, penyusun kitab Sunan Ibnu Majah, salah satu dari enam kitab hadits paling utama dalam Islam. Beliau wafat di usia sekitar 40-an tahun, namun saringannya terhadap ribuan hadits menjadi salah satu fondasi keilmuan Islam hingga kini. Waktu mereka penuh berkah karena diisi dengan kejelasan niat, kedalaman ilmu, dan kemurnian adab.
Sebagai santri millenial atau gen z kita bisa meneladani mereka dengan mulai menyusun ulang prioritas. Teladan belajar bukan hanya milik masa silam. Hari ini pun kita menyaksikan para perempuan muslim kontemporer yang menjadikan ilmu sebagai jalan kontribusi dan keberkahan. Seperti Dr. Hayat Sindi, ilmuwan bioteknologi asal Arab Saudi yang mendobrak batas sains sambil tetap menjaga identitas Muslimahnya.
Dr. Rana Dajani, ahli genetika asal Yordania, yang tidak hanya meneliti penyakit, tapi juga membangun gerakan literasi anak-anak di daerah konflik. Di Indonesia, ada Prof. Aisyah Dahlan, pakar neuropsikologi yang menjembatani sains otak dengan nilai-nilai Qur’ani. Mereka semua hidup di tengah zaman penuh distraksi—tetapi memilih untuk mengisi waktu dengan ilmu, menghidupkan ilmu dengan niat, dan mengalirkan ilmu untuk kemanfaatan.
Maka, dengan demikian kita tak harus menunggu zaman berubah, cukup kita sendiri yang mulai menyusun ulang arah hidup kita. Mulai dari mengganti bising dengan diam, mengganti sibuk dengan tadabbur, mengganti cepat dengan dalam. Karena sejatinya, diam itu bukan kelemahan. Ia adalah ruang suci tempat ilmu menanamkan akarnya, adab membentangkan daunnya, dan amal tumbuh dari buahnya.
Penulis : Siti Khoirunnisa | Editor : Nanik Rahma