Nupipress – Evaluasi adalah kunci keberlanjutan organisasi. Tanpa adanya evaluasi, dinamika kerja bisa stagnan alias statis dan kehilangan arah. Itulah yang mendasari Musyawarah Besar (Mubes) Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri digelar bulan Februari lalu. Menghadirkan pengurus pusat Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri (PPNU Pi) dan pengurus Madrasah Diniyah Nurul Ummah Putri (MDNU Pi), Mubes menjadi ajang evaluasi tengah periode yang berlangsung selama satu tahun terhitung sejak 2024 awal.
Berhubung sifatnya sebatas evaluasi, sesi yang disediakan hanya berisi penyampaian program kerja, baik yang sudah maupun yang belum terlaksana. Sesi tanya jawab yang diadakan juga dibatasi dua termin dengan masing-masing tiga penanya agar tidak membludak. Terdapat Hafna Nashifatul Azkiya’ sebagai moderator, juga saya sendiri, Nayla Syarifah Hiefra sebagai sekretaris atau pencatat sesi tanya jawab pada agenda tersebut.

Santri menyampaikan aspirasinya saat sesi tanya jawab di Masjid Al-Faruq Lt 2 Kamis, 20 Februari 2025.
Sebenarnya, pandangan para santri terhadap kegiatan dengan tajuk Mubes atau evaluasi seringkali dikaitkan dengan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) yang panas dan bernuansa kritis. Namun, panitia Haflah-Harlah XXXVIII sebagai penanggung jawab dari kegiatan ini berupaya untuk menghadirkan suasana teknis yang berbeda. Tidak ada sesi menjatuhkan, tanya jawab yang berlebih, pun kericuhan yang berisik. Semua termin tanya jawab diatur dengan rapi sehingga tidak ada massa yang mendesak dan tetap kondusif .
Kami, saya dan Hafna sebagai santri nonpanitia yang kemudian dilibatkan, berkali-kali juga mendapat mandat untuk menegaskan bahwa ini hanya ajang evaluasi, bukan laporan pertanggungjawaban yang harus dikuliti habis-habisan. Di sisi lain, saya tetap harap-harap cemas tentang bagaimana kondisi massa nantinya.

Isna Rohimah selaku Lurah PP Nurul Ummah Putri memaparkan realisasi program kerja di Masid Al-Faruq Lt 2 Kamis, 20 Februari 2025.
Mubes diawali dengan evaluasi program kerja dan tanya jawab oleh pengurus pusat, dilanjut dengan pengurus madrasah diniyah. Di luar dugaan, setelah dipersilakan pun, ternyata masih terdapat termin yang tidak terpenuhi. Karena waktu yang terbatas tidak memungkinkan bagi semua santri untuk menyampaikan aspirasinya. Hal ini menyisakan pertanyaan: apakah suasana formal seperti ini benar-benar sepenuhnya memberi ruang bagi para santri untuk menyampaikan aspirasinya?
Melihat kondisi demikian, di akhir sesi, panitia membagikan kertas kosong yang bisa diisi oleh santri untuk menyampaikan kritik, saran atau masukan tanpa perlu membacakannya langsung. Mungkin inilah jalan tengah yang efektif, tetap membuka ruang kritik tanpa memaksa semua orang untuk berbicara di forum terbuka. Beberapa waktu kemudian, hasil dari masukan tertulis diharapakan dapat tetap tersampaikan kepada para pengurus.
Berbagai kebijakan baru diberlakukan oleh pengurus sebagai bentuk tindak lanjutnya. Ini membuktikan bahwa meski forum evaluasi berlangsung tenang, bukan berarti ia sepi makna. Mengambil hikmah, mungkin sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap evaluasi. Ia bukan ajang penghakiman, tapi peluang memperbaiki arah gerak bersama. Musyawarah besar, jika dikelola dengan lebih terbuka dan inklusif, bisa menjadi momentum yang jauh lebih berarti daripada sekadar rutinitas formalitas.
Penulis : Nayla Syarifah Hiefra | Editor : Nanik Rahma