Seni Ber-bandongan

Tidak, di sini saya tidak sedang membahas terkait adab-adab ber-bandongan. Saya pun masih belajar, masih memiliki banyak kekurangan secara etik. Tetapi saya ingin bebagi seni bagaimana kita ber-bandongan, melihat Bandongan memiliki karakteristik tersendiri.

Kenapa kita kesulitan memahami bahasan dalam pembelajaran, terkhusus dalam Bandongan? Apakah ilmunya yang tak sampai? Atau kita yang memang tidak menggapai? Keduanya berpotensi terjadi. Meski demikian, kita tetap bisa berusaha untuk memaksimalkannya.

Jika adab didefinisikan sebagai aktivitas yang berbasis teladan ataupun tulisan Ulama yang bersumber dari Rasulullah Saw. Maka tentu adab-adab berbandongan (ta’allum atau mengaji kepada guru) sudah banyak ditulis oleh para Ulama. Tulisan ini bukan untuk mengulang apa yang telah disusun oleh para ulama tentang adab. Melainkan sebagai refleksi, hasil pembacaan dari kitab-kitab adab belajar sekaligus pengalaman pribadi penulis sebagai santri-mahasiswa. Semua ini, penulis coba letakkan dalam konteks sosio-budaya pengajian Bandongan di berbagai Pondok Pesantren.

“Karena ngaji Bandongan itu ada seninya”

Realita Bandongan ini tak hanya didefinisikan sebagai transfer ilmu dari guru kepada murid. Di dalamnya terdapat karakter, budaya, dan kekhasan metode tertentu. Setidaknya, ada dua karakteristik Bandongan yang berbeda dengan transfer keilmuan dengan metode yang lain.

“Kyai cenderung memaknainya secara akurat, menjelaskannya secara padat”

  1. Menjelaskan secara Padat

Dalam Bandongan, terutama Kyai sepuh cenderung tidak akan membahas secara panjang lebar, atau mengulang pembahasan dengan detail. Beliau terkadang tidak menjelaskan secara eksplisit terhadap murād dari teks yang dimaknai. Ungkapannya cenderung berupa bahasan tambahan, namun penting untuk diutarakan. Meski demikian, ungkapannya adalah hasil dari pembelajaran dan penelaahan panjang yang dipadatkan menjadi beberapa kalimat yang perlu kita pahami secara mendalam. 

Sehingga, seni pertama kita dalam ber-bandongan adalah bagaimana bisa memahami secepat kalimat-kalimat tersebut dimaknai oleh Kyai. Makna selesai dibacakan, begitu pun kita sudah khatam memahami murād dari makna tersebut. Sebagaimana kita berlatih dalam Sorogan. Kita diuji untuk membaca teks kitab, saat itu juga murād diserap.

Apalagi Kyai sudah ber-husnuzan kepada kita – santri-santrinya – bahwa kita sudah bisa memahami apa yang beliau maknai, tanpa perlu dijelaskan ulang. Sehingga adalah tugas kita, menggapai dan memahaminya dengan mode cepat, sebisa mungkin.

  1. Memaknai secara Akurat

Dalam Bandongan, santri tak perlu susah payah dalam memverifikasi ‘kebenaran’ bacaan Kyai. Meskipun tetap berpotensi salah, makna yang beliau sampaikan merupakan ‘warisan’ makna dari para Masyāyikh sebelumnya, sekaligus penelaahan lanjutan beliau yang mendalam terhadap teks kitab tersebut.

Maka santri cukup perlu ber-husnuzan ilmiah. Kita memasrahkan makna dari teks-teks kitab pada bacaan Kyai. Kita membentuk rasa percaya secara utuh kepada Kyai, sembari terbuka untuk tetap berpikir kritis.

Setelah memahami karakteristik tersebut, kita juga bisa mengasah seni lain selain yang telah disebutkan:

  1. Menggunakan Kitab Syarah

Agar tetap dapat menstimulasi penjelasan dan makna dari penjelasan Kyai, kita bisa menggunakan kitab syarah, atau setidaknya menggunakan kitab dengan tahqīq-an yang mapan.

  1. Menjaga Fokus Kyai dan Kita

Dalam Bandongan juga, santri perlu untuk fokus dalam menyimak dan mendengarkan penjelasan dari Kyai. Hal ini bisa kita teladani dari seni Shahabat dalam mendengarkan khutbah Nabi SAW:

كَأنَّ علَى رُؤُوسِهِمُ الطَّيْرَ

“Seolah-olah di atas kepala mereka, ada burung yang tetap hinggap.” (lihat lengkapnya: Kitab Shahīh Bukhārī, nomor hadits 2482)

Mereka tak bergerak, fokus secara totalitas. Begitu juga kita, tidak hanya menjaga fokus diri, tetapi juga menjaga fokus Kyai agar tidak terganggu oleh hal-hal remeh yang kita lakukan, misalnya tidak membuka lembar kitab dengan cepat sehingga menghasilkan suara keras dan menganggu. Hal kecil ini justru merupakan bagian dari adab secara maksimal.

  1. Mencatat Ungkapan Kyai sebagai Taqrīr-an Kitab.

Dalam seni memaknai kitab, entah kita ‘bermazhab’ Lirboyo (memaknai kitab secara menyeluruh) sebagaimana ungkapan Kyai Marzuqi Dahlan “petenge kitab, padange ati“. Atau kita ‘bermazhab’ Sarang (memaknai kitab hanya pada teks-teks yang belum dipahami maknanya sebelumnya) sebagaimana metode yang diajarkan Kyai Zubair Dahlan. Saya pahami, keduanya tetap sama-sama menekankan pentingnya mencatat keterangan berharga dari Kyai. 

Semoga tulisan ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua. Sebab pada satu-dua jam pengajian Bandongan, tersimpan keilmuan yang begitu dalam.

penulis: Sabiq Fawaiz Ali| Editor: Khoirunnisa