Ulama Nahwu itu “Agak Laen”

Foto diambil seusai kelas Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi-ien.

Jangan buru-buru “merengut”. Baca dulu sampai tuntas.

Jangan langsung su’udzon atau mangap kaget pas baca judulnya. Saya paham betul, menyebut ulama, terlebih lagi ulama Ahli Nahwu dengan kata “agak laen” itu bisa dianggap kurang ajar, kurang ngaji, atau minimal kurang pahit kopinya. Tapi sumpah, saya nggak lagi nyinyir, apalagi ngeledek. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk kekaguman saya. Kekaguman yang agak campur aduk dengan rasa heran, sekaligus kagum tak berdasar.

         Karena ulama nahwu itu, menurut saya pribadi, adalah manusia-manusia luar biasa. Bukan karena kekayaan atau follower Instagram-nya, tapi karena mereka sanggup hidup dan bernapas di antara bait-bait “Qola Muhammadun” yang bikin kepala mendadak migrain.

Belajar Nahwu: Jalan Sunyi yang Tidak Seksi

         Tulisan ini saya mulai dari ruang kelas Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi-ien. Salah satu pelajaran paling “HAH” di sana adalah Alfiyah Ibnu Malik. Kitab nadzam sebanyak 1002 bait itu bukan cuma menantang dari segi hafalan, tapi juga pemahaman. Satu bait bisa melahirkan debat panjang tentang posisi isim, fi’il, atau ‘amil yang tak kasat mata. Apalagi kalau gurunya detail, tak cukup satu kitab, ibarat kata “syarahnya syarah” pun dibuka.

         Salah satu ustadz yang mengajarkan Alfiyah di sini adalah Gus Muna. Hampir semua santri memanggil beliau begitu. Kecuali satu orang, Kang Rahmat, yang entah kenapa bersikukuh memanggil beliau dengan “Mas Muna”, itu urusan santri senior, saya gak ikut-ikutan hehe. Tapi saya nggak akan membahas tentang Gus Muna.

Celetukan Gus Muna: Belajar Nahwu, Ngapain Sih?”

         Setelah ngajar pelajaran Alfiyah, wajah santri biasanya berubah jadi lesu bak habis lari pagi muter Lapangan Karang 10 kali. Gus Muna selalu menutup dengan celetukan yang selalu diulang-ulang “Ulama nahwu ki wong aneh. Lha iyo, pelajaran ngene ki angele kok yo disinauni. Mending sinau bisnis, jelas duite. Yo to?”

         Santri-santri ketawa, tapi ketawanya agak sungkan. Bukan takut, tapi karena sadar, mungkin ada benarnya juga. Di zaman orang berlomba-lomba jadi konten kreator dan affiliate marketer, belajar i’rab memang terasa kurang relevan. Kurang cuan dan kurang wow. Tapi justru karena itu, saya kagum.

Yang Saya Kagumi Itu Bukan Gus Muna

         Iya, tolong dicatat. Yang saya kagumi itu bukan Gus Muna secara person, walaupun beliau juga nggak kaleng-kaleng. Tapi para ulama nahwu terdahulu yang entah gimana caranya bisa bikin struktur ilmu segitu rapinya. Mereka bisa bedain antara na’at dan badal, bisa debat soal cara baca yang paling benar, dan sanggup ngumpulin sekian banyak pendapat ulama, lalu dibungkus dalam bentuk bait nadzam yang puitis dan njlimet sekaligus.

         Mereka ini aneh tapi dalam arti positif. Karena di saat orang berlomba-lomba menciptakan teori ekonomi atau melanggengkan kekuasaan politik seperti yang terjadi di “Konoha”, mereka justru ngulik isim manshub dan fi’il majzum sampai titik koma.

         Nah, lebih ajaib lagi, masih ada santri yang mau belajar ini di zaman sekarang. Santri yang tidak sedang mengejar nilai, tidak juga sedang dipaksa ortu, tapi tulus ikut ngaji Alfiyah dan membahas idhofah yang bersifat lafdziyah atau ma’nawiyah. Kalau itu bukan bentuk keanehan yang nyata, saya nggak tahu lagi apa istilah yang tepat.

Keanehan yang Layak Disyukuri

         Zaman sekarang, keanehan semacam ini bisa dibilang mahal. Kita hidup di era serba cepat, cepat dapat uang, cepat viral, cepat sukses, cepat gagal juga. Intinya semua orang disuruh mikir realistis. Disuruh produktif. Disuruh bikin konten yang menarik. Maka, orang-orang yang masih mau meluangkan waktu buat mikir “Kenapa dalam bait Alfiyah Ibnu Malik banyak pendapat i‘rab yang berbeda dari versi lain, misalnya pada ayat atau syair tertentu?” adalah spesies langka. Mereka jelas bukan bagian dari arus besar. Mereka melawan arus. Dan itu bikin saya takjub.

         Mereka bukan cari exposure, bukan cari likes, apalagi cari klien. Mereka cuma mau menjaga ilmu. Mau melanjutkan rantai sanad keilmuan yang nyambung ke ulama besar, ke Imam Sibawaih, ke generasi yang barangkali sudah lupa bentuk dunia.

         Saya percaya, orang-orang seperti ini tidak akan pernah viral. Tapi mereka akan terus hidup dalam diam. Mengajar dengan tenang. Menulis catatan dengan tulisan tangan. Menyebut fi’il dan fa’il dengan lembut, sambil minum kopi kapal api sedikit gula dan rokok surya di tangannya.

Hidup Tidak Selalu Harus Rasional

         Jujur, saya ini tipe orang yang berpikir bahwa sesuatu itu harus rasional. Apa pun itu harus punya hasil konkret. Tapi setelah ikut ngaji Alfiyah dan melihat wajah teman-teman yang tetap datang meski paham pun belum tentu, saya jadi sadar satu hal: hidup itu nggak selalu harus rasional. Kadang, justru yang paling berharga datang dari hal yang tampaknya tidak berguna.

         Ilmu nahwu mungkin tidak mendatangkan gaji tetap. Tidak bisa dijadikan proposal bisnis. Tapi ia menyambung tradisi. Ia mengasah nalar. Ia mengajarkan bahwa setiap kata punya posisi, setiap kalimat punya fungsi, dan setiap struktur punya alasan. Dan itu sejatinya adalah cara paling indah untuk mengenal bahasa wahyu.

Maka, Kalau Mereka Dibilang “Agak Laen”…

         Saya sepakat. Tapi itu bukan kekurangan. Justru dari “kelainan” itulah kita belajar tentang ketekunan, tentang cinta pada ilmu, dan tentang nilai hidup yang nggak bisa ditakar dengan viewer count. Karena dunia memang butuh orang pintar. Tapi lebih dari itu, dunia juga butuh orang yang mau jadi “agak laen”, demi menjaga warisan yang hampir punah.

Penulis : Hikmah Nursidik | Editor : Deri