Cerpen oleh: Erha Latifah Hamdy

Memilih jodoh itu ibarat kita memilih pakaian. Setiap detailnya harus luwes, pantas. Juga harus melihat budget, jangan memaksakan kehendak. Toh pakaian itu mau semewah dan semahal apapun kalau dipakai tidak nyaman, ya tetap gak bakalan bikin percaya diri. Tapi ya jangan terus milih yang murah jelek, kita perlu melibatkan selera. Pokoknya semuanya harus benar-benar dipertimbangkan. Nggak usah buru-buru, nantikan ada waktunya sendiri. Ada saatnya kamu merasa yakin bahwa Dialah yang terbaik. Ku buka kembali  pesan Whatsapp  ibuk satu minggu yang lalu. Nasihatnya masih terngiang-ngiang di kepalaku. Belakangan ini memang emosionalku sering di aduk-aduk. Banyak peristiwa yang membuatku semakin bertanya-tanya. Apa salahnya masih melajang di umur 29 tahun? Perempuan  seolah-olah dihakimi oleh usia,  seumpama ia menanggung dosa besar.  Hal-hal seperti inilah yang sering membuatku malas pulang , bahkan sekedar menghabiskan waktu liburan kerja. Padahal jarak kantorku dengan rumah tidak terlalu jauh. Hanya beda kota saja dengan jarak tempuh satu setengah jam. Memilih tinggal di kota bagiku adalah pilihan tepat. Selain mempermudah pekerjaan juga dapat meringankan pikiran dari nyinyiran tetangga yang tidak pernah ada habisnya.

****  ****  ****

“Mel, coba kamu baca DM satu ini”. Aku memperlihatkan salah satu pesan yang masuk di akun Instagram kantor kepada asistenku. “Menurutmu? Kita perlu kawal nggak? Kalau tidak salah akun ini sudah lebih dari lima kali kirim pesan. Cuma pagi ini baru sempat ku baca. Habis banyak banget DM masuk”, ujarku. “Bentar mbak, ku baca ulang dulu ya”. Amel mengambil alih laptopku. Ia terlihat serius membaca pesan tadi. Sesekali nampak ia menghela nafas panjang. Lalu geleng-geleng kepala sambil sedikit mengumpat.

“Huffth! Dasar Fir’aun!” Umpatnya. “Lho? Kamu kenapa mel, kok tiba-tiba emosi”. Tanyaku sembari menahan tawa. “Gimana nggak emosi mbak, foto-foto dan video yang dikirim sama akun ini tuh sudah lebih dari cukup sebagai bukti untuk maju ke persidangan. Heran deh, itu lelaki dari planet mana sih bisa-bisanya mukulin isteri seenaknya. Woii..! itu perempuan punya orangtua. Hih! Gemess!” Sekali lagi ku lihat wajahnya memerah.

“Biasalah mel, lagi pula inikan bukan kasus pertama yang kita tangani. Coba kamu ingat dua bulan yang lalu, kasus bu Mahira owner skincare J-Skin itu. Parah kan? Kurang apa coba seorang Mahira yang kita kenal cantik, kaya, cerdas, salihah, baik. Eh, masih juga diselingkuhi. Mana suaminya kabur ke Dubai sama selingkuhannya, di tambah separuh aset bu Mahira dijual tanpa sepengetahuan beliau. Gila kan? Untung minggu ini kasusnya sudah mau selesai. Siap-siap mendekam di penjara tuh suaminya, eh.. mantan” maksudku.

“Iya juga sih mbak, keren lah bu Mahira. Berani speak-up, nggak tanggung-tanggung langsung gugat cerai dan pidana. Hahaha!” Amel ikut terbahak-bahak. “Nah, emang harusnya gitu mel. Jadi perempuan itu harus tangguh, harus kuat menerima kenyataan, sekaligus siap dalam mengambil keputusan”. Paparku.

“Tapi mending bu Mahira daripada siapa ini tadi mbak?” Amel kembali membuka DM. Ini nih akun atas nama ““Rembulan_pagi”. Hmmm, dari nama akun nya aja sudah ada aura redupnya ya mbak. Bisa jadi si pemilik akun kasih nama kayak gini karena sedang larut dalam kisahnya. Rembulan itu kalau sudah masuk waktu pagi kan cahayanya pudar. Sudah tidak seterang saat malam purnama. Paling hanya bertahan berapa menit jejaknya akan hilang dari kaki langit”.

“Hushhh! Kamu kok jadi ikut mendramatisir sih mel”, ucapku. “Ingat, kita ini konselor. Harus bisa menempatkan diri. Kita memang harus ber-empati, tapi jangan terus mengambil alih posisi. Nanti jadinya repot. Banyak kasus diluar sana, bahkan sekelas Hakim Pengadilan Agama saja ada yang akhirnya direhab gara-gara terlalu larut dengan petitum perceraian. Tugas kita itu sebagai mediator mel, harus bijak dan hati-hati betul dalam memberikan konseling. Jangan sampai klien kita  yang datang malah hilang arah. Lebih-lebih jika itu terkait kasus KDRT. Kita perlu kerja cepat dan tepat dalam mengawal kasusnya. Begitu mel”, ujarku.

“Kalau kamu menganggap kasus Maharani lebih ringan dibanding rembulan pagi? Menurutmu, apakah perselingkuhan tidak termasuk kekerasan dalam rumah tangga?” Aku mencoba memancing empati Amel. “Maharani memang tidak terluka secara fisik, tapi secara mental ia babak belur. Nyatanya cantik dan mandiri saja tidak cukup membuat perempuan selamat dari pengkhianatan”. Aku kembali menimpali. “Ngeri ya mbak, kalau seperti ini lelaki mana lagi coba yang bisa dipercaya”. Amel mulai menggerutu.

“Lho? Kok kamu jadi memukul rata mel? Ya nggak semua lelaki sperti itu lah. Masih banyak juga kok lelaki-lelaki baik yang benar-benar baik”. Jawabku tenang. “Alah, maksud mbak Nadia lelaki yang soleh? Yang pakai jubah kalau nggak sarungan berpeci? Yang seperti itu?” Amel kembali menyangkalku dengan pertanyaan. “Lha satu tahun yang lalu kita sempat menangani kasus dari isteri Kyai siapa itu?” Amel mencoba mengingat-ingat sebuah nama.

Kyai Farhat jawabku.

“Nah, isteri Kyai farhat! Gimana itu mbak, pelakunya Kyai lho mbak. Majelisnya dimana-mana. Nyatanya bisa KDRT juga. Mana alasannya diluar nalar lagi. Cuma gara-gara isterinya lupa bikin kopi nggak dikasih gula. Terus minta uang bulanan buat belanja”.

“Mbak masih ingat kan, waktu kita mediasi? Dengan santainya si Farhat itu bilang kalau isteri nggak nurut dalam agama suami diperbolehkan memukul. Agama mana mbak yang ngebolehin mukul isteri? Amel semakin berapi-api. Iya kalau mukulnya itu kayak mukul nyamuk yang nempel di kulit kita. Lha ini wajah isterinya sampai lebam-lebam mbak? Bibirnya saja sampai pecah-pecah berdarah. Untung saja anaknya ada yang melihat. Kalau tidak, lama-lama pasti meninggal itu isterinya”.

“Gini deh mel, kalau soal kasus itu aku juga memang nggak respect dan sangat mengecam perlakuan Kyai Farhat. Tapi yang perlu sekali dibenahi dalam hal ini adalah soal pemahamannya terhadap teks-teks keagamaan. Memang ada dalil al-Qur’an yang menjelaskan seperti itu. Dalam Q.S an-Nisa ayat 34 Suami boleh memukul isteri jika tidak taat atau Nusyuz. Tapi memukul disini bukan berarti menganiaya. Ada aturannya, yaitu memukul di area yang sekiranya tidak meninggalkan bekas luka”.

“Coba bagian mana dari tubuh kita yang tidak membekas saat dipukul?” Tanyaku. Amel mulai berpikir keras. “Area mana ya mbak? Hmmm.. telapak tangan?” Jawabnya. “Mana ada telapak tangan”. Ujarku. “Terus mana dong?” Aku sukses membuat Amel penasaran. “Itu lho yang buat kamu duduk”. Jawabku sambil tertawa. “Kursi mbak? Apa sih mbak, jangan bikin penasaran dong”. Amel mulai menggerutu.

“Hehehe! Pantat”. Jawabku datar. “Iya juga sih mbak. Tapi kalau mukulnya pakai besi ya tetap lebam lah mbak”. Paparnya santai.

“Hih! Bocah. Ya nggak gitu juga konsepnya. Makanya dalam aturan agama memukul itu hanya boleh dalam batasan memberi pelajaran. Bukan malah memberi trauma berkepanjangan. Ibnu Hajar al-Haitami pernah berfatwa, ‘bahkan sekalipun tujuannya untuk memberi efek jera, memukul isteri tetap tidak diperbolehkan dengan alasan apapun.’ Ini yang seringkali disalah tafsirkan. Lagi pula Kyai kalau memang benar-benar paham nggak akan bertindak seperti itu kok!” Celetukku.

“Hmm, berarti si Farhat itu Kyai gadungan ya mbak. Hahahha!” Amel terbahak-bahak. “Lebih tepatnya Kyai pakaian mel. Dohirnya saja yang Alim tapi batinnya Fir’aun. Makanya kita jangan sampai tertipu personal branding seseorang. Yang terpenting itu personal-value. Seseorang itu kalau sudah punya value biasanya auranya positif. Sikap dan tindakannya sangat mencerminkan kebaikan. Mereka itulah yang disebut salih atau salihah. Tidak hanya salih agama, tapi juga salih sosial”. Jelasku panjang lebar.

“Aku jadi ingat ceramah Gus Baha’ mbak. Kata beliau bahkan setingkat Nabi saja masih kena hukum sosial ya mbak?” Ungkapnya. “Betul mel, siapapun orangnya mau berasal dari kalangan mana pun, kalau ia menyalahi aturan? Dia pasti akan terkena sanksi sosial. Sama dengan Kyai Farhat itu, setelah kasusnya di-up di media sosial kamu tahu sendirikan gimana komentar para netijen? Apalagi setelah kejadian itu isterinya disuruh cerai oleh orang tuanya. Ya, walaupun akhirnya gugatan perceraiannya dicabut kembali karena isterinya ternyata hamil”.

“Tapi setidaknya kasus itu memberikan kita pelajaran. Bahwa segala bentuk kekerasan adalah pelanggaran hukum. Ini yang perlu kita perjuangkan mel. Terlebih masyarakat kita masih banyak yang menormalisasi kekerasan dalam rumah tangga”.

“Padahal jelas-jelas Nabi Muhammad sendiri yang masyhur dengan julukan insan kamil saja dalam kehidupan pernikahannya beliau mau membantu isteri-isterinya dalam urusan domestik. Nabi juga tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan tindak kekerasan. Di tengah budaya patriarki masyarakat Arab jahiliyah kala itu, Nabi kita malah menjadi orang paling pertama yang memperjuangkan hak-hak perempuan”. Aku mengulas kembali penjelasan Abah Yai Syafa’at dulu saat masih nyantri di bumi Mentaok.

“Sepakat mbak, memang kita ini masih dianggap makhluk subordinat oleh sebagian masyarakat dengan bias patriarki”. Amel turut menimpali.“Oke deh mbak, kalau begitu kapan kita mau ketemu “rembulan_pagi“?” Tanya Amel.

“Oh, ya sudah kamu atur saja jadwalnya. Coba kamu tawarkan dulu Café di kantor kita. Siapa tau dia mau singgah kesini. Pokoknya bagaimana caranya agar klien kita merasa nyaman dan aman. Khawatirnya kalau kita ketemuan diluar ada oknum yang melihat. Nanti belum jadi maju persidangan pelakunya malah mempersulit proses kita”.

“Jangan lupa kamu kontak juga Mas Setya. Dia yang akan kita minta jadi pengacara. Pastikan semua laporan yang ada di DM sudah kamu buatkan salinannya. Jadi nanti saat ketemu klien kita tinggal wawancara ulang saja”. Paparku.

“Siap mbak!” Jawab Amel sigap.

***  ****   ****

Aku beranjak sejenak. Lalu berjalan menuju Café di halaman belakang kantor. Beberapa lukisan karya Umar Faruq tergantung di dinding. Ada juga pohon belimbing setinggi tujuh meter tumbuh subur menghiasi taman. Pohon belimbing tersebut ditanam atas saran dari Ning Hida dan Gus Muhammad Magelang. Selain buahnya enak buat rujakan, belimbing juga menjadi simbol ritus keagamaan. Belimbing adalah metaforis dalam syair Lir-ilir karya kanjeng Sunan Kalijaga. Bait-bait serta liriknya ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa. Mengandung makna filosofis yang begitu dalam. Belimbing memiliki lima sisi layaknya bintang. Sebagai analogi dari lima rukun islam.

Lir-ilir, Lir-ilir, Tandhure wes sumilir

Tak ijo royo-royo

Tak sengguh temanten anyar

Cah angon, Cah angon

Penekna belimbing kuwi

Lunyu-lunyu penekna

Kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro, dodotiro

kumitir bedah ing pinggir

dondomono jlumatono

kanggo sebo mengko sore

mumpung padhang rembulane

mumpung jembar kalangane

yo surako… surak hiyo..

**** **** *****

Benar kata ibuk, memilih pasangan itu harus hati-hati. Aku berharap nasibku tak se-tragis Mahira atau juga Habibah isteri Kyai Farhat. Atau juga Rembulan_pagi, yang mimpinya dihancurkan oleh kekasihnya sendiri. Seorang suami yang lebih pantas disebut psikopat. Lama-lama Aku sadar, bahwa pernikahan tidak hanya soal cinta. Tapi ketulusan dan kejujuran dari pasangan. Bukan juga soal romantis, tapi bagimana cara bersama merajut manis. Bukan juga tentang inginku atau inginmu. Tapi tentang apa yang diinginkan oleh-Nya.

**** ***** ****

“Jika kamu menikah hanya karena usia, sejatinya kita tak pernah tahu rahasia usia. Jika kamu menikah karena ingin punya keturunan, sejatinya anak adalah pemberian Tuhan. Jika kamu menikah karena takut terlantar, sejatinya pasangan hanyalah pinjaman. Jika kamu menikah karena Lelah mendengar omongan orang, sejatinya dunia ini adalah rumah gosip yang tak berkesudahan. Maka berhentilah mengejar hal itu, fokuslah menjadi yang terbaik. Karena Allah pun akan mendatangkan yang terbaik di waktu yang terbaik pula.”

Ku baca berulang-ulang pesan dari kontak baru yang masuk di Whatsapp-ku akhir-akhir ini. Kontak person tanpa foto profil itu membuatku sedikit gusar. Siapa dia??? Darimana dapat nomorku. Saat ku balas chatnya, ia hanya menjawab “Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang ingin melihatmu terus bahagia”. Balasnya.

***SELESAI***


Editor : Deri