
“Bagi seorang penulis, semua hal dan semua pertemuan bisa menjadi bermakna.” Kutipan ini disampaikan oleh Kalis Mardiasih dalam seminarnya di Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri. Seminar tersebut digelar pada 16 Februari 2025 di Pendopo Al-Khadijah dalam rangka Haflah Akhirussanah dan Harlah ke-38 Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri. Acara ini bekerja sama dengan Pengurus Pekan Pustaka NUPi ke-19 dengan mengusung tema Suara dan Tulisan Perempuan: Inspirasi Perubahan.
Seminar ini terdiri dari beberapa rangkaian acara, yakni pembukaan, pembacaan ayat suci Al-Qur’an, sambutan, sesi inti seminar, tanya jawab, dan penutupan. Dalam sambutannya, Isna Rokhimah menyampaikan bahwa seminar ini bertujuan untuk merayakan perjalanan pendidikan di pesantren sekaligus menegaskan peran santri sebagai agen perubahan. Ia berharap suara perempuan tidak hanya menjadi sekadar kata-kata, tetapi mampu menggerakkan perubahan. Tulisan adalah warisan yang akan terus tumbuh, sehingga seminar ini diharapkan dapat ditulis, diserap, dan dipraktikkan oleh para santri.
Seminar ini dipandu oleh Dilla Azkiya sebagai moderator. Dalam pembukaannya, Dilla menyampaikan bahwa tema yang diangkat dapat dimaknai sebagai harapan agar suara dan tulisan perempuan menjadi inspirasi perubahan. Narasumber dalam seminar ini adalah Kalis Mardiasih, seorang aktivis perempuan sekaligus penulis buku.
Kalis Mardiasih mengawali seminar dengan berbagi pengalaman sebagai new mom, terutama tentang perubahan tubuh yang dialaminya. Ia menekankan bahwa menulis dapat bermula dari pengalaman pribadi. Kalis bercerita bahwa motivasi menulisnya tumbuh saat ia menyadari bahwa buku-buku di toko banyak membahas dosa perempuan, seolah-olah perempuan adalah sumber dosa dan neraka. Ironisnya, mayoritas penulis buku-buku tersebut adalah laki-laki. Padahal, perempuan memiliki banyak peran yang bernilai pahala dan surga. Dari situlah ia menyadari pentingnya perempuan menulis kisah mereka sendiri.
Kalis menekankan bahwa segala hal dapat menjadi bahan tulisan, bahkan momen sederhana seperti pertemuan dengan penjual peyek keliling. Menurutnya, tips menulis yang paling sederhana adalah mengabadikan setiap momen dan mencatat hal-hal menarik. Ia juga mengungkapkan misinya, yaitu mendefinisikan ulang perempuan berdasarkan realitas dan pengalaman perempuan itu sendiri, bukan berdasarkan perspektif laki-laki yang sering kali bias.
“Membaca adalah jendela dunia. Jangan jadikan jendelamu negatif untuk melihat dunia,” tuturnya. Ia juga berpesan bahwa setelah mampu menjadikan segala sesuatu bermakna, langkah berikutnya adalah mengatur pola pikir agar lebih adil terhadap diri sendiri.
Pada sesi tanya jawab, Kalis menyoroti pentingnya prinsip dalam menghadapi isu pernikahan dini. Menurutnya, pesantren mengajarkan santri untuk mencintai ilmu pengetahuan, bukan hanya sekadar mempersiapkan diri untuk menikah. Ia juga menegaskan bahwa perempuan tidak diciptakan hanya untuk menarik perhatian laki-laki, melainkan untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat.
Kalis juga berbagi pengalaman bahwa keberaniannya bersuara tidak muncul begitu saja. Kemiskinan yang dialaminya di masa lalu menjadi privilege karena ia tidak terbebani oleh nama besar dalam keluarganya. Ia menegaskan bahwa menulis membutuhkan keberanian dan setiap orang harus menentukan battlefield-nya sendiri.
Salah satu poin menarik dalam diskusi adalah bagaimana perempuan kerap menjatuhkan sesama perempuan. Menurut Kalis, hal ini terjadi karena adanya warisan budaya patriarki yang mengajarkan perempuan untuk bergantung pada laki-laki, sehingga mereka tidak memiliki imajinasi untuk mandiri. Ia menyarankan agar kita memahami akar masalah ini dan mencari solusi yang lebih bijak.
Di akhir acara, Dilla Azkiya menyimpulkan bahwa tantangan kita adalah menyetarakan kualitas berpikir tentang perempuan, baik di antara sesama perempuan maupun dengan laki-laki. Perempuan harus dimuliakan sebagaimana manusia lainnya. Ia juga menegaskan bahwa perempuan bebas berekspresi selama tetap dalam koridor syariat.
Secara keseluruhan, seminar ini disambut dengan antusias oleh santri Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri. Tema dan narasumber yang dihadirkan relevan dengan kebutuhan santri sebagai perempuan yang aktif dalam dunia kepenulisan. Salah satu peserta, Nayla, mengungkapkan bahwa materi yang disampaikan sangat inspiratif dan mudah dipahami.
“Kak Kalis bisa menyesuaikan dengan audiens, jadi materinya mudah diterima. Isu feminisme juga diangkat, tetapi tidak terlalu berat. Hal yang paling menarik adalah ketika Kak Kalis mengatakan bahwa motivasi kita dalam berkarya bukan hanya karena kita manusia, tetapi karena kita adalah perempuan,” tuturnya.
Reporter : Nuril
Editor : Deri