Ilustrasi jalan bercabang yang menggambarkan dualitas kehidupan

Manakah yang lebih utama bekerja atau tawakal? Dalam kitab Kifayatul Atqiya‘ karya Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad- Dimyati dijelaskan setidaknya ada tiga pendapat disini:

Pertama, Lebih utama tawakal karena tawakal adalah karakteristik Nabi dan para Ahli Sufi.

Kedua, Lebih Utama Bekerja. Sebab bekerja dapat menarik rezeki. Juga termasuk kesunahan. Hal ini berdasarkan dalil Q.S Jum’ah: 10 terkait seruan bekerja setelah shalat jumat selesai ditunaikan. “Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung“.

Ketiga, Keduanya bisa saja sama-sama menjadi prioritas, tergantung situasi dan kondisi yang sedang dialami. Jika bekerja membuat seseorang menjadi lebih tawakal, maka bekerja lebih diutamakan. Sebaliknya, jika seseorang bekerja namun menjadikannya lupa pada Allah (tidak taat) gemar berbuat maksiat maka tawakal tentu menjadi pilihan utama. Pendapat ketiga ini mengikuti perspektif Imam Al-Ghazali.

Selaras dengan pandangan Al-Ghazali, Ibnu Athailah As Sakandary dalam kitabnya Al-Hikam menegaskan;

# إِرَادَتُــكَ الـتَّجْرِيْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِيَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَةِ الْخَفِـيـَّةِ

وَإِرَادَتُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِيَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ

Kehendakmu untuk Tajrid disaat Allah sedang menempatkanmu pada maqam Asbab adalah bentuk lain dari syahwat yg samar. Sementara kehendakmu untuk Asbab dimana Allah telah menempatkanmu pada maqam Tajrid adalah kemerosotan dari cita-cita yang mulia“.

Bahwa secara fitrah manusia akan mengalami dua fase pembelajaran. Pertama, Maqam Asbab. Dalam fase ini manusia masih berada pada level relatif, dimana secara mayoritas mereka tidak bisa dipisahkan dari faktor sebab-akibat. Sebagai contoh, Manusia bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Seseorang mencari nafkah agar keluarganya terjamin dan sejahtera. Maka sangat tidak tepat jika ia melepas diri dari status-quo yang melingkupinya saat ini, lalu memaksakan diri pada level yg bukan maqamnya.

Kedua, Tajrid. Tahapan ini menempatkan manusia pada wujud kepasrahan total. Mereka tak lagi membutuhkan hal-hal yg bersifat materi. Sebaliknya, muncul dorongan kuat dari hati untuk menyatu dengan sang Maha Pencipta, yakni Allah Swt. Mereka lebih menyukai uzlah, berkontemplasi dalam balutan dzikir-dzikir yang panjang. Meski demikian, kita perlu merenungi lebih dalam agar tidak terjebak oleh definisi yang timpang. Sederhananya, jika kita masih berada pada level Asbab maka bersikaplah layaknya manusia biasa. Bekerjalah sebagaimana mestinya, mencukupi kebutuhan hidup dengan cara yang makruf. Jangan biarkan hatimu direnggut ragu akibat bayang-bayang kemunafikan duniawi. Juga tak perlu menjatuhkan marwah sendiri akibat memaksakan diri. Namun, jika takdir telah membawamu pada puncak keabadian (Tajrid) maka bebaskanlah dirimu dan segeralah menepi di ruang rahman-rahim-Nya.

Seperti halnya yang pernah diucapkan oleh Rumi, seorang penyair sekaligus filsuf masyhur dari Timur Tengah dalam al-Matsnawi. Ontologi puisi monumental yang tak lekang oleh zaman. Rumi berkata : “Tuhan telah memasang tangga di hadapan kita. Kita harus mendakinya, setahap demi setahap”. Inilah yang dimaksud dengan peta kehidupan yang sesungguhnya, dimana manusia hendaknya berjalan mengikuti rambu-rambu yang telah disiapkan. Pada akhirnya, manusia tak ubahnya wayang kehidupan dalam cerita sang Dalang. Entah pada maqam Asbab, entah pada maqam Tajrid keduanya bak dualitas dalam ruang semesta Tuhan. Kita hanya perlu menjalaninya sesuai kadar mampu masing-masing. Juga tetap berbaik sangka atas segala takdir-Nya.


Jumat, 28 Februari 2025

Penjelasan Oleh: Agus Minanullah,S.Th.I

Ditulis ulang oleh: Rachmawati Husnul Latifah

Editor : Deri